Beberapa hari telah berlalu. Juma, cucu Kiai Yusuf, yang awalnya hendak dijodohkan dengan Syaza, kini telah menjadi pengajar di pondok pesantren Ar-Rasyid, atas kehendaknya sendiri.
Juma yang baru saja selesai mengajar dan hendak kembali ke kamarnya untuk beristirahat, secara tidak sengaja berpapasan dengan Syaza, yang sedang berjalan seorang diri.
Paras ayu gadis itu, nyatanya langsung menghipnotis Juma. Kendati Syaza segera tertunduk saat jarak masih terbilang cukup jauh.
"Assalamualaikum, Dek," salam Juma demikian, yang sontak membuat Syaza mengangkat kepala spontan.
Namun, Syaza buru-buru tertunduk kembali dan mengucap istighfar banyak-banyak dalam hatinya.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balasnya kemudian dengan suara pelan, tetapi masih bisa terdengar jelas oleh Juma.
"Kalau boleh tahu, Dek Syaza, hendak pergi kemana?" tanya Juma lembut.
Syaza mendelik, "apakah setiap urusan saya, harus diketahui oleh, Anda?" Ucapan yang keluar dari mulutnya bernada ketus.
"Bukan itu yang saya maksudkan ..." Juma tergagap dan canggung karena sepertinya ada yang salah dari pertanyaan tadi.
"Jika Anda tidak memiliki kepentingan lain, mohon untuk berikan saya jalan karena masih ada hal penting, yang harus saya selesaikan sekarang!" tegas Syaza tanpa berkedip. Kali ini Syaza berani menatap mata seorang laki-laki. Semata-mata untuk perlindungan diri.
Juma yang tidak suka dengan keributan pun, memilih untuk patuh, mundur beberapa langkah, membuka jalan seperti yang Syaza inginkan.
"Assalamualaikum." Syaza mengucap salam dengan nada suara sedikit tinggi, kemudian mempercepat langkahnya tanpa menoleh.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Juma berbalik badan, memperhatikan Syaza dari kejauhan.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dari pertanyaan Juma tadi. Namun, ada sesuatu yang membuat Syaza merasa tidak nyaman. Apakah soal perjodohan atau ada hal lain?
Juma pun menghela napas panjang, "benar kata kakek. Ia memang wanita yang pemarah dan sulit untuk didekati. Entah mengapa, setelah bertemu dengannya secara langsung, diriku semakin tertantang untuk mendekatinya? Mendengar suaranya, sungguh membuat jantungku berdebar-debar."
Juma masih memandangi jalan setapak yang dilalui Syaza sebelumnya, sambil sesekali meraba dada, merasakan degupan kencang dalam raganya.
"Sebagai laki-laki sejati. Diriku akan berjuang keras untuk bisa mendapatkan hatimu dan menghalalkanmu, tentunya atas seizin Allah SWT."
Juma mendongak, memandang langit beberapa saat, sebelum akhirnya kembali melihat jalan setapak di hadapannya.
"Bismillah ... Ini adalah cinta," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Sementara itu, Ehan yang memang sedang berjalan-jalan santai, tanpa sengaja melihat pertemuan Juma, ustadz muda yang tidak dikenalnya itu dan Syaza di sana. Meskipun begitu, jarak Ehan berada cukup jauh dari keduanya.