Hari berikutnya. Syaza yang baru selesai merapikan kamar, bergegas pergi ke tempat Kiai Hamdan. Langkahnya terburu-buru saking ingin cepat bertemu seseorang yang sangat dirindukannya dalam beberapa waktu terakhir.
Mendapatkan kabar baik dari keluarganya, tentu membuat hari ini terasa berbeda bagi Syaza.
"Laili!" panggil Syaza penuh haru. Rindu yang tak terbendung kan lagi, membuat Syaza melupakan satu hal yang cukup penting, yaitu salam di awal.
"Maaf, semuanya, Syaza lupa ... Assalamualaikum." Syaza mengucap salam, yang terlewatkan sambil melangkah mundur, melepaskan pelukan hangatnya.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Kiai Hamdan, lalu diikuti Ustadz Fahar dan yang lainnya di waktu bersamaan.
"Kakak senang banget lihat kamu, Dek" ungkap Syaza yang tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya dari semua orang. Terpancar jelas dari wajah cantiknya, senyuman berseri dan mata berbinar-binar.
Lebih dari dua Minggu, Syaza menantikan moment tersebut. Selama itu juga, ia tidak henti-hentinya mendoakan kesembuhan Laili.
"Iya, Kak. Aku juga senang banget bisa kembali ke rumah. Tidak enak berlama-lama di rumah sakit. Rasanya sangat membosankan. Tidak ada teman yang bisa diajak main," aku gadis mungil bernama Laili, yang duduk di kursi roda sembari mengelus punggung tangan Balqis, yang berada di kedua bahunya.
"Iya, kakak juga merasa kesepian di sini. Apa lagi kakak harus bersihin kamar kamu yang kayak kapal pecah itu, sendirian," keluh Syaza bernada mengejek.
"Ih, kakak. Jangan buka kartu gitu dong. Ya, kan aku sakit. Jadi, engga bisa beres-beres kamar. Lagi pula, kamar aku engga kayak kapal pecah juga. Ya, walaupun kuakui memang berantakan," balas Laili terkekeh kecil. Cengengesan, merasa bersalah.
Syaza menggelengkan kepalanya. Pun dengan Umu Afi dan Balqis. Sementara Kiai Hamdan pandangnya terarah pada Ehan yang kebetulan tengah berjalan santai mendekati pondok.
"Nak Ehan!" panggil Kiai Hamdan, yang sontak membuat sang pemilik nama menoleh.
Dirasa ada yang memanggil namanya, Ehan langsung mencari sumber suara. Dilihatnya ke arah pondok, tempat Kiai Hamdan dan yang lainnya berada.
Ehan mengulas senyuman tipis, kemudian melenggang menghampiri Kiai Hamdan beserta keluarganya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Ehan, sambil mengecup punggung tangan Kiai Hamdan di waktu bersamaan. Kemudian beralih ke tangan Ustadz Fahar yang memang berdiri bersebelahan dengan Kiai Hamdan.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab semuanya serentak.
"Bagaimana, ceramahnya hari ini, berjalan lancar?" tanya Kiai Hamdan lebih dulu.
Ehan mengangguk dan matanya mengejar pelan, "Alhamdulillah, Pak Kiai. Semuanya berjalan lancar. Ya, walaupun jamaah yang hadir melebihi prediksi awal. Akan tetapi, semuanya berjalan kondusif dan khidmat."
"Syukur Alhamdulillah. Saya ikut senang mendengarnya," balas Kiai Hamdan, sambil menepuk bahu Ehan kayaknya teman yang sangat akrab.
Ustadz Fahar tersenyum tipis. Namun, tidak ada satu patah kata pun keluar dari bibirnya. Sementara itu, pandangan Ehan tertuju pada sosok gadis cantik yang berdiri di belakang kursi roda. Wajahnya selalu tertunduk setiap kali ada laki-laki yang datang mendekat.