Syaza pun mengantarkan Laili ke kamarnya. Saat memasuki ruangan yang tidak terlalu besar dan kecil itu. Laili merasa senang, bahagia, senyuman sumringah terpancar di wajah cantiknya.
Meskipun keduanya bersaudara, tetapi tidak tinggal satu kamar. Laili yang menginginkannya. Tidur terpisah supaya bisa mandiri.
"Apa kakak yang merapikan kamarku?" tanya Laili penuh takjub, melihat sekelilingnya yang rapi dan bersih. Tampak tidak ada cela sebutir debu pun, menempel di sana. Bahkan diletakkan pula sebuah vas bunga di atas meja, semakin menambah keindahan ruangan.
Syaza mendehem, "tentu ... Selama kamu di rumah sakit, setiap hari kakak datang ke kamarmu untuk menyapu dan mengepel lantai. Tentu, seseorang tidak akan merasa nyaman bilamana ia tinggal di kamar yang kotor dan tidak rapi."
Laili bergumam pelan, sementara Syaza mendorong kursi roda, hingga jaraknya hanya beberapa jengkal dengan sofa. Laili pun bangun. Bukannya berpindah ke sofa, ia malah memeluk Syaza dengan dekapan sangat hangat.
"Terima kasih, Kak. Engkau memang kakak yang luar biasa dan terbaik. Aku beruntung memilikimu sebagai kakakku. Aku sayang kakak." Ungkapannya begitu dalam, tercipta momen mengharu biru, sampai tidak terasa Syaza pun menitihkan air mata, saking bahagianya dia.
"Sudah, sudah ... Jangan berlebihan." Syaza melepaskan pelukan gadis cantik yang disayanginya itu.
Laili pun menatap lekat punggung gadis ayu di hadapannya. "Oh, iya, Kak. Bukankah yang kita temui tadi, Ustadz Ehan ya? Mengapa dia ada di sini?"
Gadis ayu bermata sipit itu, bertanya-tanya akan kehadiran sosok Ehan di pondok pesantren Ar-Rasyid, yang ditemuinya beberapa saat lalu. Membayangkan kembali saat Ehan tersenyum kearahnya tadi, membuat jantung Laili berdegup kencang, secara tidak langsung seperti ada sambaran yang mengalir dalam raganya.
Syaza menggelengkan kepalanya, melihat tingkah adiknya yang senyum-senyum sendiri tidak jelas. Entah apa yang sedang merasuki pikiran adiknya itu?
"Hayo, lagi bayangin apa? Istighfar, Dek." Syaza memperingatkan.
Laili lantas tersadar dari khayalannya itu, "astagfirullahaladzim." Kemudian mengerjapkan matanya cepat, menjernihkan pikirannya yang hampir terbawa bisikan jin.
"Aish, kakak si, engga mau jawab pertanyaan aku ... Jawab atuh pertanyaan aku tadi," rutuk Laili bernada kesal.
"Pertanyaan apa?" Syaza balik bertanya. Bukannya ia tidak mendengar, hanya saja ia terlalu malas untuk menjawab. Terutama ini menyangkut soal laki-laki.
"Is, kakak mah gitu. Masa iya, pertanyaan aku tadi tidak terdengar?" Laili menggembungkan pipinya, melipat kedua tangan di bawah dada, memasang wajah kesal, seperti sedang merajuk.
Syaza yang sedang menata Bunga yang ada di dalam vas pun, lalu berhenti dan menatap adiknya garis lurus, kemudian berkata, "coba kamu ulangi pertanyaannyamu tadi? Kakak kurang fokus karena sedang merapikan bunga-bunga."
Laili menghela napas berat. Beginilah, jika memiliki kakak yang asyik dengan dunianya sendiri. Seakan yang ada disekitarnya tidaklah penting.
"Aku tanya, laki-laki yang bertemu kita tadi itu, bukankah ustadz Ehan? Mengapa dia ada di Pondok Pesantren ini?" Laili mengulangi pertanyaannya, sambil menahan kesal dalam pikiran.