Prof. Dr. Uswatun Hasanah, M.A.
Guru Besar Hukum Islam Universitas Indonesia
Mungkin kita sudah lelah mendengar slogan “Ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang berdasarkan keadilan dan kerakyatan.” Slogan “ekonomi yang adil dan merakyat” selalu hadir di mana-mana, seperti pada saat pidato kenegaraan, diskusi, seminar, lokakarya, apalagi saat musim kampanye pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Slogan ekonomi kerakyatan ini seakan menjadi “dagangan” yang laris manis. Namun, benarkah demikian? Tampaknya slogan itu hanya tinggal slogan.
Untuk menjustifikasi pernyataan di atas dapat dibuktikan secara kasatmata. Pemandangan kemiskinan menjadi hal biasa dalam pandangan mata kita.
Bagi saya, istilah ekonomi kerakyatan bukanlah satu mazhab tersendiri dari sistem perekonomian. Terjemahan sistem ekonomi kerakyatan sebagai bentuk kebijakan-kebijakan yang pro-poor (pro-kemiskinan) bukanlah sebuah sebuah mazhab, melainkan lebih kepada tujuan dari sistem itu sendiri. Dengan kata lain, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang memberi fokus kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Dalam aplikasinya, kebijakan ekonomi ini diharapkan berpihak dengan cara memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat menengah ke bawah (petani, nelayan, dan kelompok-kelompok rentan [vulnerable]) dan memberi permodalan pada usaha kecil dan menengah.
Sedangkan lawannya, ekonomi liberal adalah sistem ekonomi yang pro-market yang merupakan produk kapitalis yang menganakemaskan korporasi. Michael Hardt dan Antonio Negri menyebutkan bahwa liberalisme merupakan postmodernisasi dari sistem kapitalisme yang diwarnai pergerakan dari sektor industri ke sektor tersier (jasa, finansial). Di sini, kebebasan pasar menjadi kata kunci yang mengaitkan ekonomi antarnegara ke dalam suatu interdependensi global (Syamsul Hadi, Kompas 2009).
Pasal 33 UUD 1945
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, berbicara ekonomi kerakyatan tidak bisa dilepaskan dari Pasal 33 UUD 1945. Bahkan, mengkaji dan mengupas ekonomi kerakyatan berarti kita sedang membicarakan substansi Pasal 33 UUD 1945 itu. Pasal “keramat” itulah yang menjadi landasan konstitusional dalam membicarakan ekonomi kerakyatan. Karenanya, menarik jika kita melihat sejarah pasal ini dalam kaitan hangat dan banyaknya orang yang mengakui pengusung ekonomi kerakyatan itu. Hal ini menjadi penting untuk melihat substansi pasal ini secara lebih baik dan arif.
Melihat sejarah munculnya Pasal 33 UUD 1945, pasal tersebut merupakan ijtihad yang cukup panjang dari founding fathers saat itu, khususnya tokoh proklamator Mohammad Hatta. Sejarawan Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa Bung Hatta (bersama Bung Karno dan tokoh lainnya) adalah perumus UUD 1945, dan Hatta adalah orang yang paling tahu segala seluk-beluk perkembangan perumusan pasal itu hingga ke naskah final. Khusus Pasal 33 bisa disebutkan merupakan hasil pemikiran dan rumusan seorang Hatta. Beliaulah yang mengetahui sumber autentik maksud dan tujuan, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam pasal tersebut (Diah Marwah, 1999).