BISNIS BODONG

Tia Dia
Chapter #2

Bab 2

Kejadian empat tahun silam, masih terbawa hingga hari ini. Pasalnya utang ke bank masih terhitung banyak. Setiap bulan Nadia masih terus berusaha memberikan setoran. Nadia betul-betul menyadari, masalah itu membuatnya makin tidak dipercaya sang Ibu.

Nadia akhirnya memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri, tidak hanya harus mencari penghasilan di luar rumah karena ia sama sekali tidak bisa mengembangkan usaha keluarga apalagi mendapatkan penghasilan dari sana. Mungkin memang seharusnya tidak seperti itu. Pikiran untuk melanjutkan usaha keluarga itu datang saat ia memulai hidup baru dan memutuskan berhenti bekerja. Ia berpikir jika ibunya akan memberikan hak yang sama sepeti kepada Nindi, adiknya yang kini mengelola usaha butik di toko milik sang Ibu. Ditambah lagi Bu Rosmia selalu menyisipkan sindiran setiap kali mereka tengah mengobrol.

"Kemarin waktu pertemuan ibu-ibu arisan, Ibu ketemu sama anaknya Pak Karim yang suka bantu-bantu di rumah Nenek dulu. Dia cerita, anaknya sekarang tinggal sendiri, walopun ngontrak. Memang enak seperti itu kalau sudah nikah, tinggal sendiri, mandiri walo ngontrak, jangan pilih rumah yang mewah, yang penting cukup untuk hidup dengan anak-anak." Nadia paham uacapan ibunya itu tertuju kepada dirinya. Bu Rosmia hanya menggunakan keadaan anaknya Pak Karim sebagai tujuan pembicaraan.

Perasaan Nadia yang tengah dilanda sensitivitas, merasa tidak nyaman dengan ucapan seperti itu. Seolah-olah dirinya memang harus hidup terpisah karena terlalu banyak memberi beban kepada sang Ibu yang telah menjanda beberapa tahun setelah Ayah Nadia wafat.

Memanglah benar seperti yang ibunya katakan, jika seorang sudah menikah sebaiknya hidup mandiri. Seorang wanita jika sudah menikah, ia akan menjadi orang lain di rumah mertua, menjadi asing di rumahnya sendiri, bahkan tidak terlalu berkuasa di rumah kecilnya sekali pun karena segala kuasa ada di bawah keputusan suami. Namun, untuk Nindi, mungkin Ibu punya alasan lain, pikir Nadia.

Mengingat kesalahan dan kecerobohan yang membuatnya terjerumus ke dalam permainan bisnis ilegal itu, ia menyadari keputusannya adalah kesalahan besar yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang wanita yang sudah menikah tanpa sepengetahuan suami.

Seharusnya Nadia tidak lagi mengkuti aturan keluarganya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Mengembalikannya menjadi beras sudah tidak mungkin, apalagi bubur itu telah basi.

"Mas, bagaimana kalau kita mulai mengontrak rumah?" Nadia mencoba membahas tentang itu dengan Witama saat mereka saling berkabar via telepon.

"Kenapa memangnya? Kamu tidak betah di rumah Ibu, atau ada alasan lain, Dek?"

"Tidak, Mas. Tapi rasanya lebih nyaman saja. Terlebih untuk anak-anak, mereka jadi lepas bermain tanpa takut merusak barang-barang Ibu. Lagian sebaiknya memang kita hidup terpisan setelah menikah." Dengan suara berat, Nadia mencoba memberi pengertian kepada Tama.

Terdengar embusan napas pendek dari seberang.

"Baiklah, nanti Mas pikirkan untuk biaya sewanya. Kamu coba cari info rumah yang harganya terjangkau saja. Tapi, apa kamu siap hidup sendiri hanya dengan anak-anak? Itu yang aku khawatirkan. Sementara ini aku belum bisa mengajak kamu tinggal bersama di sini, aku belum bisa mengontrak rumah sendiri dan membawa kalian. Kamu tau aku masih tinggal di mess perusahaan."

"Iya, Mas aku paham. Nanti aku kabari kalo sudah dapat info rumahnya."

Lihat selengkapnya