BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #1

1. Rindu Sepihak yang Menyedihkan

Liona memarkirkan motornya dengan terburu-buru di tempat yang agak jauh dari pintu masuk toko. Ia berlari melesat, mengayunkan langkah cepat memasuki toko kue tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir.

Dibandingkan masa sekolah dulu, tubuhnya kini terasa lebih ringan, seolah-olah bobotnya berkurang separuh. Mungkin karena nafsu makannya yang menurun, atau karena rutinitas kerja yang melelahkan telah mengikis setiap lemak di tubuhnya. Bisa juga karena beban patah hati yang tak kunjung sembuh, membakar setiap kalori yang masuk bagai lilin yang menyala di kedua ujungnya.

Kata orang, cinta pertama takkan pernah benar-benar hilang dari memori. Bagai lukisan pertama di kanvas jiwa, warnanya mungkin memudar, tetapi goresannya tetap membekas. Itulah yang dirasakannya.

Begitu melewati pintu belakang yang dikhususkan bagi karyawan, matanya langsung menangkap sosok bosnya yang sudah berdiri dengan wajah memerah bagai api yang menyala-nyala. Perempuan paruh baya itu melipat tangan di depan dada, matanya melotot penuh emosi. Pemilik toko yang gila kerja dan tak pernah memberi ampun pada kesalahan sekecil apapun itu, sering berujar bahwa ketepatan waktu adalah nyawa dari disiplin.

Dan hari ini, Liona telah melanggarnya.

“Maaf, Bu,” Liona berucap lesu, menundukkan kepala dalam-dalam ingin menyembunyikan wajahnya yang masih dipenuhi peluh.


“Sekali lagi terlambat, jangan harap gajimu utuh!” Bentak sang pemilik toko, suaranya menusuk seperti pisau yang dihunuskan.

Liona menggigit bibirnya hingga nyaris luka. Ia berbalik dan segera menuju ruang loker dengan langkah tak bersemangat.

“Berapa kali lagi ini gue harus dipotong?” keluhnya dalam hati, frustasi menghadapi masalah ini lagi. Setiap kesalahan, sekecil apapun, selalu berujung pada pemotongan gaji. Jika terus begini, di akhir bulan ia mungkin hanya akan membawa pulang angin.

Ia membuka jaketnya yang masih berdebu dan meletakkannya di dalam loker. Dari belakang, terdengar bunyi pintu yang dibuka, tapi ia terlalu lelah untuk menengok. Mood-nya sudah hancur berantakan, semirip ban motornya yang tiba-tiba robek di tengah jalan tadi, meninggalkannya terdampar dan akhirnya membuatnya harus mendorong motor sepanjang sisa perjalanan.

Tiba-tiba, sepasang tangan hangat melingkari kepalanya, menutup matanya dengan lembut. Liona langsung mengenal aroma parfum lembut yang melekat pada orang ini, wanginya seperti campuran vanilla dan kayu cedar, khasnya seseorang yang setahun belakangan setia menemaninya menyajikan kue kepada pelanggan.

Ditariknya kedua tangan itu perlahan, lalu ia berbalik. “Kamu juga telat juga?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dengan senyum tipis.

Mata sipit Dion berbinar, ikut meregangkan senyum. Matanya bahkan lebih tipis dari Liona, seperti dua garis lengkung yang selalu riang. “Tapi aku berhasil lolos gak ketahuan!” jawabnya dengan semangat, yang nyaris tak pantas untuk situasi muram seperti ini. Suaranya serak, namun lembut, hampir seperti suara perempuan.


Liona menggeleng sambil tertawa kecil. Pikirannya masih berantakan, tak pula punya tenaga untuk mengimbangi energi Dion yang selalu cerah. “Cepat ganti seragam. Aku duluan ke depan.”

“Kak, motor kakak…” Dion menyela.

“Ban-nya bocor,” potong Liona singkat.

Wajah Dion berubah masam, penuh simpati. “Pantesan muka kakak merah gitu. Pasti capek ya mendorongnya sepanjang jalan?”Suara seraknya semakin jelas karena iba.

“Udah, udah! Ganti baju, cepat! Nanti nyonya sihir itu marah lagi,” bisik Liona buru-buru sebelum melangkah pergi.


Di area toko, Liona segera menyapa pelanggan yang baru masuk. “Selamat datang!” Matanya menangkap sekilas seorang ibu dengan pakaian lusuh menggendong anak kecil yang tak beralas kaki. Tapi perhatiannya hampir langsung teralihkan ke seberang jalan, di mana sekumpulan siswi SMA sedang berkerumun riuh di depan gedung olahraga. Biasanya tempat itu dipakai untuk turnamen antar sekolah atau klub, tapi hari ini tak ada jadwal pertandingan. Kerumunan ganjil itu membuatnya penasaran.

“Saya mau beli yang ini,” ujar pelanggan tadi, menunjuk kue tiramisu besar yang terpajang di etalase.

Liona tersentak dari lamunannya. “Ah, iya,” balasnya, segera membungkus kue yang diminta. “Total tiga ratus lima puluh ribu.”

Pelanggan itu mengeluarkan dompet usang dan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dan selembar lima puluh ribu, pas. Liona menerimanya, menghitung cepat, dan memasukkan ke dalam laci kasir, tetapi matanya masih saja mencuri pandang ke seberang jalan. Ia merasa ada sesuatu yang menarik disana. Matanya tak lepas dari jendela seraya menyadari kalau pelanggan sudah mulai bergeser ke arah pintu.

“Terima kasih, silahkan datang kembali!” serunya setelah pelanggan itu membuka pintu dan pergi, matanya tetap tertambat pada kerumunan di gedung olahraga.

Dion yang sedang membersihkan lantai mendekat dengan wajah khawatir. “Kak!” Panggilnya gusar. “Kamu nggak merasa ada yang aneh sama pelanggan tadi?”

Liona mengangkat alis, bingung.

“Bajunya compang-camping, anaknya aja gak pakai sandal. Tapi beli kue semahal itu!” tambah Dion.

Liona mengernyit, mencoba mengingat, tapi gagal. “Aku gak terlalu perhatiin tadi,” akunya jujur.

Dion menghela nafas panjang sebelum kembali menyapu lantai.

***

Hari bergulir dengan cepat. Toko ramai hingga sore, tetapi sang pemilik toko memutuskan menutup lebih awal karena ada urusan. Rupanya, ia lebih memilih tutup toko daripada mempercayakannya sepenuhnya pada karyawan, tanpa pengawasan.

Liona menggunakan kesempatan ini untuk cepat-cepat ganti baju dan melesat keluar. Ia menyeberang jalan, mendekati gedung olahraga yang sejak tadi pagi mengusik pikirannya. Saat ia sampai, kerumunan telah bubar. Hanya tersisa kesunyian dan beberapa poster yang masih terpajang.

Langkahnya terhenti di depan sebuah poster besar yang tertempel di dinding dekat pintu. Tertulis: Meet The Best Player of The Year. Di bawah tulisan itu, terpampang wajah yang sangat dikenalnya. Wajah yang pernah menghangatkan harinya dan kemudian menghancurkannya hingga berantakan.

Lihat selengkapnya