Empat hari, sebelum minggu tenang menuju ujian akhir sekolah.
"Otak lu udah dicuci cinta, ya?" bentak Andin wajahnya yang biasanya cerah kini merah padam oleh kombinasi kekesalan dan tak percaya.
Tapi Liona malah menyunggingkan senyum bodoh.
Seandainya ini komik, pasti matanya sudah berbentuk bintang-bintang berkilauan. Ia membayangkan dirinya sebagai heroine yang akan mendapatkan happy ending bersama pangeran impiannya. Dengan gerakan dramatis, ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Andin yang masih terus mengomel, tak mau mendengarkan lagi nasihat-nasihat yang dianggapnya pesimistis.
"Teman masa gitu!" gerutunya dalam hati sambil melangkah pergi.
Tadi, dengan nada tak percaya, Andin mencemooh idenya untuk mengungkapkan perasaan pada Alan sebelum ujian akhir. Liona berhenti sejenak, mencoba membuktikan bahwa otaknya masih berfungsi normal.
"Harus gimana lagi? Memendam perasaan sampai mati? Bisa-bisa gue mati muda karena penyesalan!" batinnya memberontak.
Perutnya berkerucuk, Liona mengumpat dirinya sendiri, mengapa setiap ia menggunakan otaknya untuk bekerja lebih keras sedikit saja, perutnya pasti langsung lapar. Bagaimana ia bisa punya tubuh selangsing Alice kalau tiap ada yang dipikirkan, dia ingin memakan sesuatu. Apa boleh buat, jika dibiarkan begitu saja penyakit lambungnya bisa kumat. Maka langkah kakinya membimbing tubuhnya untuk berjalan ke kantin.
Ia berjalan sambil memandang sepatu hitamnya yang sudah semakin belel, terlihat lebih butut dan kumuh karena tak pernah dicuci dalam dua bulan ini. Otaknya masih terus berpikir apa yang harus ia lakukan untuk menyatakan cintanya pada Alan. “Ah!” keluhnya sambil menghentak kaki kasar ke lantai.
Tadi dia melemparkan ide gilanya ke Andin, tapi sekarang dia bingung sendiri bagaimana cara mengungkapkan perasaannya ke Alan yang bahkan belum pernah ia sapa.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba, pandangannya tertumbuk pada sosok yang sedang berjalan di seberang lapangan. Alan! Segala keraguan dan kalutannya langsung menguap. Seakan semua masalah di kepalanya menghilang. Dunia seakan dipenuhi bunga-bunga. Seperti jutaan bunga mawar berjatuhan dari langit. Bahkan bukan sekedar bunga mawar, raflesia arnoldi pun bertaburan di sekelilingnya saking hebohnya kepalanya saat ini.
Dia memperhatikan Alan yang sambil berjalan masih asyik membaca buku. Detak jantungnya semakin kencang ketika menyadari Alan sedang menyeberangi lapangan, menuju ke arahnya. Wajahnya memerah, napasnya memburu. Ini saatnya!
Tiga... dua... satu...
"Au!" Terdengar suara benturan keras. Liona memegangi dahinya yang baru saja menabrak pinggiran pintu kelas yang terbuka. Orang-orang di sekitar yang sebelumnya tenang tak bersuara, mendadak bising, tawa riuh pun bergemuruh mengisi koridor. Sekarang bagaimana dia bisa menyapa Alan, setelah menabrak pintu kelas yang terbuka, dan ditertawakan banyak orang begini.
"Maluuuu!" jeritnya dalam hati. Dengan wajah membara, ia menutupi muka dan bergegas pergi dari tempat itu.
Alan yang menyaksikan kejadian itu terkekeh geli. Sambil menggeleng, ia membuka kembali bukunya. "Bodoh banget!" gumamnya ringan sebelum melanjutkan langkah.
***
Tiga hari sebelum minggu tenang menuju ujian akhir sekolah…
Kali ini harus berhasil.
Dengan jantung berdebar kencang, Liona melangkah mendekati bangku di sudut koridor yang teduh. Di sana, Alan duduk sendiri, kedua kupingnya tertutup earphone dan matanya terpejam, sepenuhnya terlarut dalam dunianya sendiri. Setiap langkah Liona terasa berat sekaligus ringan, dihantui ketakutan tapi juga dibakar harapan.
Ia menggigit bibir bawahnya sampai nyeri, memaksa diri untuk tetap fokus. "Kali ini harus berhasil," bisiknya dalam hati, sambil matanya menyapu sekeliling dengan paranoid. "Tidak ada pintu terbuka, tidak ada bola basket liar, tidak ada halangan apapun."
Hanya sepuluh langkah lagi. Nafasnya tertahan ketika ia melihat bagaimana sinar matahari pagi menyentuh ujung rambut Alan, membuatnya terlihat seperti bermandikan cahaya. Tangannya yang gemetar merapikan kuncir kuda yang sudah berantakan dan meluruskan kerah seragamnya.
Tiga langkah lagi. Ia membuka mulut, suara tercekik di tenggorokan siap mengucapkan nama yang selalu diimpikannya.
"Lionaaaa...!"