BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #3

3. Amplop Pink, Tong Sampah Abu-abu

Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, Liona memacu langkahnya menyusuri gang sempit menuju rumah. Sepatunya yang sudah usang menepuk tanah berdebu dengan ritme cepat, seiring degup jantung yang berdetak kencang bagai genderang perang. Sesampainya di teras, satu hal yang langsung dicarinya: selembar kertas berisi rahasia hatinya yang paling tersembunyi.

Dalam perjalanan pulang, sebuah ide mendadak menyambar pikirannya. Surat. Ya, suratlah jawabannya. Selama ini segala upayanya untuk mengungkapkan isi hati selalu berujung pada kegagalan, seperti takdir sengaja menciptakan seribu satu halangan antara dirinya dan Alan. Kali ini, ia akan menumpahkan seluruh gejolak perasaan itu di atas kertas, menyerahkannya, lalu melarikan diri sebelum keberaniannya menguap. Urusan apa yang terjadi setelah itu, bisa dipikirkan belakangan, yang penting Alan tahu.

"Di mana ya?" gumamnya gelisah, tangan mulai mengobrak-abrik tumpukan buku dan kertas di meja belajar. Belum juga ditemukan, ia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal sambil menggerutu, "Ish!" Kenangan terakhir menempatkan surat itu masih tergeletak di atas meja tadi pagi.

Matanya berkilat, sadar akan sesuatu, kamarnya sudah rapi. Padahal tadi pagi waktu ditinggal masih berantakan.

“Ibu!” ujarnya lalu berlari keluar kamar, menabrak pintu dapur dan mencari mangkuk wadah bawang.

Tepat sekali dugaannya, sekali melihat ia sudah langsung kenal tulisannya yang terlihat sangat jelas ditutupi beberapa bawang. Ibunya memang selalu menggunakan kertas-kertas tak dipakai untuk alas sayuran. Ia segera mengganti alas bawang dengan kertas lain. Sebelum Ibunya pulang dan menyadari isi kertas itu dan ia akan diceramahi panjang kali lebar.

Sambil menghela nafas dan membersihkan kertas yang dikotori kulit bawang, dia kembali ke kamar. “Untung aja tulisannya gak kehapus, gue sendiri lupa apa yang udah gue tulis,” gumamnya, duduk di depan meja belajarnya, tanpa mengganti baju seragam bahkan melepas kaos kaki. Menatap kertas itu lekat-lekat, menarik nafas dalam-dalam, dan mengambil pulpen dan selembar kertas baru.

Sekali lagi, menghela nafas dan menggigit bibirnya sebelum akhirnya mulai menyalin tulisannya di kertas yang masih kosong.

Aku rasa ini berawal sejak pertama kali aku lihat kamu. Setiap detik berikutnya aku gak berhenti mikirin kamu, cari kamu ke kesana-kemari. Terus menerus rindu.

Sering aku coba menghindar dari kekaguman ini dengan melakukan hal ini dan itu, tapi kamu tak pernah berhenti masuk ke dalam pikiran aku, bikin aku jadi gila.

Aku nulis surat ini, cuma mau kamu tahu kenapa hati aku jadi kayak ini, kenapa aku merasakan hal ini.

Semua karena kamu.

Setiap hari cuma kamu yang aku tunggu. Sampai saat ini cowok yang aku tahu, yang aku lihat, yang aku ingin, cuma kamu. Rasanya kayak gak mau melakukan satu hal apapun kalau di hari itu gak ada kamu.

Aku sering membayangkan kalau di dunia ini cuma ada kamu dan aku.

Hari demi hari aku berimajinasi kalau kamu jadi milikku. Dan itu bikin semangat aku seperti bunga-bunga yang bermekaran sepanjang waktu. Kayaknya aku beneran tergila-gila sama kamu, pengen banget berlari memeluk kamu, terus bilang yang sebenarnya.

Tapi aku selalu diam, gak bisa berucap tiap kali melihatmu.

Padahal setiap harinya, tiap aku buka mata di pagi hari, satu hal yang ku lihat pertama kali itu kamu. Sekalipun cuma khayalan. Aku bahagia punya kamu di hati aku. Aku gak bisa terus nahan hati ini, jadi sekarang aku mengaku dengan sejujurnya. Aku tergila-gila sama kamu. Sampai gak bisa berkata apapun ketika di depan kamu.

Aku mengaku dengan sejujurnya.

Aku suka sama kamu.

                                                                 Liona Agistya

                

Penuh senyum yang merebak, ia mengambil sebuah amplop berwarna merah muda dari dalam laci mejanya. Tak ingat kapan ia membeli amplop seperti itu, yang jelas amplop itu sepertinya sudah lama berada disana.

 For Alan, ia mengukir tulisan itu di sudut kanan bawah amplop dengan hati-hati dan dengan usaha agar tulisannya terlihat seindah mungkin. Ia melipat surat pengakuannya dan memasukkannya ke dalam amplop, lalu merekatkannya dengan lem. Penuh kebahagiaan, ia mengecup permukaan amplop tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.

Lihat selengkapnya