BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #4

4. Selalu Ada Jalan Untuk Pekerja Keras

Tiga tahun kemudian...

Suara bentakan dan sesuatu yang dibanting dengan keras memecah kesibukan sore itu dari balik dapur. Dion, yang sedang sibuk menyapu di depan toko, langsung bergegas masuk dengan wajah panik. Dadanya berdebar kencak, sudah menduga sesuatu yang tidak beres.

Di balik pintu ayun dapur, ia mendapati pemandangan yang membuat hatinya terjepit. Liona berdiri lesu dengan kepala tertunduk pasrah, menerima gelombang makian dari sang bos yang wajahnya sudah merah padam oleh amarah. Dion memperhatikan dengan saksama, dari raut muka Liona yang pucat, tangan yang gemetar, hingga tiga lembar uang pecahan seratus ribu di meja yang sepertinya menjadi sumber masalah. Meski tak ada yang menjelaskan, ia bisa mencerna situasi ini.

Dia menghela napas berat. Sudah dua hari dia merasa janggal dengan pelanggan yang Liona layani kemarin, Dion tak habis pikir bagaimana Liona bisa tidak menyadari keanehan itu. Entah ke mana pikiran Liona waktu itu, yang jelas sekarang ‘kakak’ kesayangannya itu terperangkap dalam masalah besar.

"Uangnya palsu!" bentak bosnya sambil bertolak pinggang. "Karena kau tidak teliti, kita rugi hampir tiga ratus ribu!"

Dion melihat bagaimana Liona terpaksa mengangguk lemah dan meminta maaf, sambil mendengar tentang pemotongan gajinya yang sudah ketiga kalinya bulan ini. Ia tahu betul bagaimana kakaknya itu sudah berjuang mati-matian untuk bertahan di pekerjaan ini. Tapi kali ini, kerugian yang harus ditanggung terlalu besar. Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, Liona mengangkat pandangannya ke pemilik toko.

"Hari ini, saya mengundurkan diri," ucapnya dengan getir.


Sore itu, di trotoar tempat parkir motor, mereka duduk bersisian. Dion memandangi Liona yang wajahnya masih basah oleh air mata yang ditahannya sepanjang dimarahi oleh bos tadi. Hatinya terasa diremat-remat, kalau saja dia punya uang lebih banyak, dia mungkin akan membantu Liona untuk membayar kerugian itu, tapi dia sendiri sedang susah payah mengumpulkan uang untuk membayar biaya kuliahnya.

"Jadi sekarang gimana, kak?" bisik Dion pelan, menatap aspal yang mulai gelap diterangi lampu jalan.

Liona menggeleng lemah, menatap kosong ke arah jalanan yang ramai oleh kendaraan. "Gak tahu, aku juga bingung," ungkapnya lemah, suara serak penuh kelelahan. "Ini sudah pekerjaan ketiga yang gak bertahan lama."

Dion menghela napas. "Kalau kakak gak di sini, aku juga gak mau kerja disini lagi. Aku akan keluar juga."

"Eh, jangan!" cegah Liona dengan sigap, matanya membelalak khawatir. "Kamu jangan ikut-ikutan. Seenggaknya satu dari kita harus tetap punya penghasilan."

Tapi Dion hanya mengangkat bahu, wajahnya menunjukkan tekad yang bulat. "Tapi kerja kan bisa dimana aja, bos disini emang kebangetan gila sih!"


Liona menunduk, menghapus air mata yang tanpa sadar menetes lagi. Pikirannya melayang kepada ibu mereka yang harus mendengar kabar ini nanti. Bagaimana ia akan menjelaskan bahwa sekali lagi, ia telah gagal. Bahwa sekali lagi, mimpi untuk membantu meringankan beban keluarga hancur oleh kecerobohannya sendiri.

Dion benar, mencari kerja bisa dimana saja, tapi untuk ukuran lulusan SMA yang tak punya keahlian, dan riwayat kerja yang cenderung sebentar-sebentar dengan profesi yang terus berubah, membuatnya kesulitan untuk mendapat pekerjaan baru.

Angin sore berhembus membawa hawa lembab yang membuat gatal di kulit. Dion menyandarkan kepalanya di bahu Liona, seperti yang selalu ia lakukan sejak kecil setiap kali mereka sedang bersedih.

"Semangat, Kak," bisiknya penuh keyakinan. "Kakak pasti bisa dapet kerjaan baru yang lebih bagus."

  ***

“KENAPA KAMU BODOH GITU SIH!” suara Tari, ibu Liona, mengguncang ruang tamu yang sempit. Getar kemarahan dan kekecewaan yang tertahan selama ini akhirnya meledak.

“Kamu tahu sendiri, mencari pekerjaan di zaman sekarang gak gampang! Apalagi dengan modal ijazah SMA! Kenapa kamu gak bisa lebih berhati-hati, sih?”

Liona hanya mampu menunduk, tak sanggup membela diri. Dalam hatinya, ia tahu setiap kata ibunya benar. Ia merasa seperti kegagalan yang berjalan, tak mampu mengatur hidupnya sendiri bahkan dalam hal paling sederhana sekalipun.

“Ibu...” suaranya tercekat, tak mampu melanjutkan kata-kata.


“Kamu kenapa sih harus ngalamin kayak gini terus?” Kali ini suara Tari lirih, namun justru lebih menyayat. “Kamu membuatku menyesal telah melahirkanmu ke dunia ini.”

“Ibu...” Liona kembali bersuara, air matanya sudah mulai membentuk genangan di pelupuk mata.

“Kenapa sih kamu harus terlahir dari rahimku? Sementara di luar sana, banyak keluarga mapan yang begitu merindukan kehadiran seorang anak!” Racau Tari, frustasi dengan perasaan kasihan campur kecewa ke Liona, tapi lebih besar ke dirinya sendiri.

Butiran air mata akhirnya mengalir deras di pipi Liona, meninggalkan jejak yang basah.

“Aku gak pernah bisa bahagiain kamu. Kamu gak punya ayah yang bisa diandalkan kayak orang-orang. Aku... gak punya cukup uang buat bisa bikin kamu kuliah, buat bisa bikin kamu punya kesempatan yang lebih baik.” Suara Tari pecah, dan untuk pertama kalinya Liona melihat air mata mengalir bebas di wajah ibunya yang biasanya begitu tegar.

Dengan langkah gemetar, Liona maju dan memeluk ibunya dari belakang. “Maafin aku, Bu...” desisnya lirih, wajahnya tertanam di punggung ibu yang terasa semakin kurus.

Lihat selengkapnya