BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #5

5. Tak Ada Bahkan Dalam Khayalan

Liona berdiri di depan pagar putih setinggi dua meter lebih, bertanya-tanya sendiri, “Benar ini rumahnya?”

Berkali-kali menukar lihat antara kertas di tangannya dan rumah di depan matanya. Menggigit bibir memberanikan diri menekan bel di samping pagar. Dan terdiam menunggu. Rambutnya tertiup angin yang terasa agak dingin, menjelang bulan Oktober udara semakin lembab dan kurang enak di kulit.

Pagar di hadapannya terbuka otomatis. Liona melongo kebingungan. Ia celingukan mencari sesosok orang yang bisa ditanya, tapi tak ada siapapun disana. Jadi meskipun ragu, sambil menggosok-gosok lengan kirinya dengan telapak kanan, ia melangkah masuk menginjakkan kakinya di lantai putih yang berjajar lebar dan rapi dari ujung pagar sampai ke depan pintu rumah. Begitu ia sampai di depan pintu, seseorang keluar, memandangnya dengan tatapan kurang bersahabat

“Asisten baru?” tanya wanita yang Liona perkirakan berumur lima puluh tahunan itu. Mengenakan daster batik dan kacamata bergagang silver. Perawakannya mirip dengan ibu kos galak yang sering Dion ceritakan.

Liona mengangguk, sungguh bodoh. Ia baru menyadari kalau ia tak tahu siapa nama ‘bos’ barunya. Terlalu tergiur dengan gaji yang dijanjikan ia langsung pergi saat tadi alamat rumah ini diberikan padanya. Dan sekarang ia berdiri mematung tak tahu harus mengatakan ingin bertemu dengan siapa pada wanita paruh baya di depannya.

Tanpa pikir panjang, Liona mengikuti isyarat wanita di depannya untuk masuk ke dalam rumah. Gugup yang menyelimuti membuatnya tak berani menengok ke kanan-kiri. Berkali-kali ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan diri yang gelisah. Namun begitu melangkah masuk ke dalam rumah mewah yang tak pernah ia bayangkan sekalipun, nafasnya nyaman tertahan.

Dia terpana oleh kemewahan bernuansa vintage yang memenuhi setiap sudut ruangan. Sofa kulit berwarna coklat tua dengan pinggiran kayu jati berukir detail menghiasi ruang tamu. Sebuah meja tamu besar dari kayu jati tua dengan warna yang senada dengan sofa menjadi pusat perhatian, dipoles hingga mengkilap sempurna. Di sisi ruangan, lemari pajangan tinggi berisi koleksi guci antik dan berbagai benda seni yang memantulkan cahaya lembut. Langit-langit yang dihiasi lampu gantung kristal menambah kesan megah, sementara wallpaper bermotif bunga klasik dan lantai kayu berpelitur mengokohkan nuansa old-fashioned yang elegan dan tak lekang oleh waktu. Setiap sudut seakan berbisik tentang warisan turun-temurun dan selera tinggi yang terjaga.

Tanpa mempersilahkannya duduk, bibi tadi langsung meninggalkannya ruang tamu. Sedikit memberanikan diri untuk menilik ke suasana di sekitarnya, Liona mendapati rumah megah ini tak punya lukisan atau foto keluarga.

Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara pintu terbuka di lantai atas. Liona menoleh ke arah tangga megah di sebelah kirinya. Ia berusaha mengatur ekspresi wajah agar tak terlihat tegang; orang yang akan muncul pastilah 'bos' barunya. Ia sudah merencanakan untuk menyungging senyum terbaiknya saat menyapa nanti.

Seorang lelaki tinggi tegap mulai tampak di ujung tangga yang pencahayaannya agak gelap, wajahnya masih samar dari jarak yang begitu jauh. Liona menyipitkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Sosok itu semakin mendekat, dan tiba-tiba Liona tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia menahan napas, enggan berkedip sedikit pun. Takut bila ia menutup mata, bayangan di hadapannya akan sirna, karena hanya ilusi semata.

Namun, mata yang mulai perih akhirnya berkedip juga. Ketika dibuka kembali, sosok itu tak hanya masih ada, malah semakin nyata dan jelas. Tak berubah, apalagi menghilang. Wajah itu tetap sama memesona, bahkan ketika Liona mengedipkan matanya berulang kali untuk meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi. Tak ada yang berubah.

Alan berdiri tegak di hadapannya.

 “Kamu...” ucap Alan dengan wajah bingung.

Ini bukan acara tahun baru, namun Liona merasa mendengar banyak kembang api meledak di sekitar kepalanya. Warna-warni kembang api yang seharusnya indah di langit itu sekarang ada di matanya ketika mendengar Alan menyebut ‘Kamu’ dengan wajah bingung.

‘Kamu’ adalah kata pertama dan kata selanjutnya adalah ‘lagi apa disini?’ dan Alan mengucapkannya dengan wajah bingung itu. Itu menandakan dia mengenali Liona. Bertanya mengapa ia ada di sini, di hadapannya, sebenarnya hal itu juga yang mau Liona tanyakan. Namun otaknya sedang sibuk menyalakan kembang api.

Alan mengingatnya? Jadi bukan cuma dia yang mengenal sepihak waktu SMA?

“Kamu siapa?” lanjut Alan.

Seluruh kembang api di kepala Liona hilang, yang ada malah suara gong besar berdentum-dentum di telinganya. Tiba-tiba ia merasa dirinya terjun bebas dari lantai paling atas gedung paling tinggi di Jakarta. Tulangnya remuk redam. Berita buruknya, Alan tak mengenalnya. Berita baiknya, pria di depannya ini bukan khayalan, karena Alan yang sebenarnya memang tak pernah mengenalnya.

“Woi!” tegur Alan. “Kamu siapa? Lagi apa di sini?”

Liona menelan ludah kemudian berdehem. Sadar Liona, sadar! teriaknya dalam hati. Ia menegakkan tubuh dan memantapkan pandangan mata. Meski jantungnya berdegup kencang, Liona membuka mulut untuk pertama kalinya di depan Alan. Ini hal yang tak ada bahkan dalam khayalannya. Terlalu sulit untuk disebut nyata, tapi harus dihadapi dengan segera. Karena sekarang berarti dia asisten manajer Alan, dan Alan adalah bos nya.

“Pagi, saya Liona, asisten manager pengganti.”

“Oh,” tanggap Alan singkat. Melangkah melewati Liona, lurus ke arah deretan sofa di ruang tamu.

Lihat selengkapnya