BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #6

6. Asalkan Dia, Bukan yang Lain

Liona masih tak percaya, kalau pujaan hati dalam waktu tiga tahun bisa berubah menjadi pemain basket profesional, sekaligus menjelma menjadi salah satu artis papan atas Ibukota. Dan sekarang dia jadi asisten managernya.

Wajah Alan sering terpampang di iklan shampo, sabun wajah khusus pria, dan brand-brand produk olahraga. Fakta yang mencengangkan sekaligus mempesona. Ketenaran dan kesuksesannya, mencapai tingkat yang tak pernah Liona bayangkan saat sekolah dulu.

Bagi Liona saat ini, segalanya membahagiakan. Sekalipun sekarang urat-urat dan ototnya menegang, wajahnya bersimbah keringat dan kaku menahan luapan lelah. Ini adalah momen kebahagiaan.

Tas Alan yang ada di tangannya, benar-benar berat setengah mati sekalipun sudah dijinjing dengan kedua tangannya, wajah Liona tetap memerah. Tapi dia tak ingin kesusahannya terlihat oleh siapapun, terutama Alan. Ia berusaha terus melangkah tanpa beristirahat, menginjakkan kakinya di anak tangga Gedung Olahraga di daerah Jakarta Selatan.

Gedung ini sudah terlihat tua, cat di temboknya sudah luntur di beberapa sisi. Meski begitu kebersihannya tampak terawat, Liona tidak melihat satu sampah pun sejak ia memasuki gerbang tadi.

Rasanya ingin melompat dan berteriak keras “Merdeka!” saat akhirnya Alan menghentikan langkah dan menyuruhnya meletakkan tas di atas bangku. Sayangnya tak ada celah untuk Liona duduk. Semua bangku penuh dengan tas. Liona tetap berdiri sambil memijat telapak tangannya yang terasa kebas. Sambil melihat Alan bergerak menyambangi anggota timnya.

Jadwal pertama hari ini adalah pertandingan persahabatan. Tim Turquoise Alan dan tim pemula yang berdiri di bawah naungan walikota Jakarta Selatan.

Satu persatu pria berbadan tinggi menghampiri Alan ditengah lapangan. Liona cukup familiar dengan wajah mereka karena sudah melakukan riset sederhana di internet tadi malam, walaupun masih sedikit kesulitan mengingat satu persatu namanya.

Wajah-wajah ini sebenarnya sudah selalu ada di sekitar Alan setiap kali Liona melihat pertandingan tim Turquoise di televisi. Tapi tak pernah benar-benar ia perhatikan karena jelas, matanya hanya tertuju ke Alan seorang.

Pria yang berkulit agak gelap itu bernama Rangga, yang matanya paling sipit itu Jason, yang badannya paling kecil di antara yang lain itu Andi, dan yang banyak disebut-sebut paling tampan oleh masyarakat itu namanya Jeremy. Tapi bagi Liona, tetap saja satu yang paling tampan hanya Alan. Lagipula sudah menjadi rahasia publik kalo Jeremy adalah seorang playboy yang sering gonta-ganti pacar baik dari selebriti atau orang biasa.

“Ch.” cibir Liona reflek ketika melirik Jeremy.

Dijawab oleh perutnya yang berkerucuk lapar.


Dengan tatapan dingin dari matanya yang memicing, Alan menengok ke arah Liona. Gadis itu tampak sedang menggoyang-goyangkan kakinya dengan ekspresi bosan.

“Padahal tinggal duduk aja, bodoh banget sih dia!” gerutu Alan, lalu kembali fokus dengan bola yang ada ditangannya.

Di hadapannya, Jeremy menangkap lemparan pandangan singkat yang Alan buat tadi, matanya beralih ke tempat yang sama. Ia mengamati sosok gadis asing yang berdiri di depan bangku manajer dan kini sedang memandangi Alan sambil senyum-senyum sendiri. Bibirnya menyunggingkan senyum, tertarik dengan gadis mungil berambut sebahu dan bermata kecil itu.

Tanpa bicara apapun, Jeremy berjalan menghampiri Liona. “Jeremy!” ujarnya, tanpa basa-basi mengulurkan tangan ke Liona.

Sedikit ragu tapi tak punya pilihan, Liona membalas uluran tangan Jeremy, “Liona.” jawabnya.

Andi menepuk punggung Rangga, mengedikkan kepala ke arah Jeremy, “Lihat playboy emang gak tahu tempat!” Kekehnya.

Mendengar percakapan Andi dan Rangga, Alan menengok ke arah yang kedua temannya itu sedang perhatikan. Tangannya berhenti mendrible bola, mengamati Jeremy yang sedang tersenyum lebar di depan Liona yang hanya menarik bibirnya kaku. “Ch,” cibir Alan, bisa menangkap jelas kalau Liona sedang tak nyaman. Ia lalu bergeleng, kembali mendrible bolanya dan melemparkannya ke dalam ring.


“Kamu pengganti Santa?” tanya Jeremy dengan ramah.

Liona paham bahwa yang Jeremy maksud adalah asisten manajer Alan yang sedang cuti melahirkan. Ia pun mengangguk mantap.

Keduanya sempat terdiam, namun Liona tersentak ketika Jeremy tiba-tiba menunduk dan mendekatkan wajahnya, menatap Liona dari jarak sangat dekat. “Kamu manis!” pujinya tanpa tedeng aling-aling, disertai senyum lebar yang membuat Liona sedikit mundur tanpa sadar.

Mata Liona membesar, berkedip beberapa kali. Perasaan gugup dan takut bercampur dengan sedikit rasa bangga karena dipuji "manis" oleh seorang pria tampan. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya. Betapa indahnya jika pujian itu datang dari Alan, pikirnya dalam hati.

"Hei Jeremy! Cepat ganti baju!"

Suara Alan yang tiba-tiba muncul dari belakang Jeremy membuat Liona tersentak. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Alan. Kegugupannya bertambah ketika melihat Alan mengenakan jersey basket berwarna turquoise yang serasi dengan nama tim mereka, dengan nomor punggung tujuh. Tampilannya sungguh mengagumkan.

Jeremy segera menarik diri tanpa berkata-kata, tampaknya baru menyadari bahwa waktu pertandingan sudah mendekat. Dan lontaran peringatan dari Alan, kapten tim, seperti instruksi yang tak bisa diabaikan. Namun dari kejauhan, ia masih sempat menengok dan melemparkan senyum sambil melambai ke Liona.

Lihat selengkapnya