Sepenglihatan Liona, tas ini hanya berisi handuk, baju, air mineral dan sepatu. Namun kenapa berat sekali, setengah mati Liona menjinjing tas Alan. Nafasnya tersengal, menunggu Dany datang dengan mobil. Anggota tim yang lain sudah pulang, hanya tersisa Alan yang berdiri melipat tangan kosongnya di depan dada dan Liona yang tak sanggup menggerutu sekalipun sudah mulai tak sabar. Kapan Dany datang? Tas Alan yang berat ini sudah membuat kulit-kulit di telapak tangannya mengelupas.
Liona melirik ke kiri. Ya ampun, tinggi tubuhnya tak sampai sebahu Alan. Tiga tahun belakangan tampaknya Alan masih bertambah tinggi. Sedangkan dirinya sendiri tak nampak perubahan, sejak terakhir kali mengukur tinggi badan di kelas dua SMA, sampai sekarang masih sama.
“Siapa nama lu?” Suara Alan yang terdengar indah itu mengalun masuk ke telinga Liona, ia sempat terpaku dalam sepersekian detik. Namun kontan tersadar mencerna yang didengarnya.
Alan tak tahu namanya?
Paling tidak sudah lebih dari delapan jam ia memenuhi keperluan Alan, tapi sampai sekarang Alan belum mengingat namanya. Sakit. Hatinya sakit.
“Liona,” jawabnya mencoba menggunakan ekspresi wajah paling ramah dan percaya diri tinggi. Menahan sakit hati.
“Ah,” Alan mengangguk. “Lion, coba lu telepon Dany. Tanya dimana dia sekarang!”
Ha? Lion? Seumur hidupnya baru sekali ini orang memanggil dengan potongan bagian teraneh dari namanya. Belum sempat ia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, mobil Dany sudah terlihat masuk ke pintu gerbang, berhenti tepat di depan mereka.
Kali ini tanpa diperintah lagi, Liona sudah paham, untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Dany. Tas Alan masih dibekapnya. Tas berat yang menekan permukaan pahanya sampai panas itu padahal bisa ia taruh di bagasi, tapi untuk menghemat waktu, dan mengurangi beban mengejar langkah Alan yang panjang saat turun dari mobil, lebih baik ia terus mendekap tas ini.
“Hari ini lu ada janji sama Bu Sofie!” ujar Dany pada Alan, suaranya Dany terdengar berwibawa.
Liona tak menggerakkan kepalanya, ia memasang telinga karena sebentar lagi pangerannya akan mengeluarkan suara, membalas percakapan dengan Dany.
“Em.” Jawab Alan.
Mata Liona berkedip cepat. Hanya itu? Em? Kenapa sih Alan selalu bicara sedikit. Padahal Liona ingin menikmati setiap intonasi nada yang keluar dari suaranya. Tapi kalau dipikir-pikir, memang itu pesona Alan, kan? Tak banyak bicara, dingin, sering menatap ketus, tapi teramat manis kalau tersenyum. Liona buru-buru mengatupkan mulut, dan memasukkan bibirnya ke dalam. Menahan untuk tersenyum, karena bisa menarik perhatian Dany. Gawat kalau sampai dia bertanya kenapa Liona tiba-tiba senyum sendiri.
“Gue masih ada urusan di kampus, jadi nanti gak bisa nunggu kalian di sana. Dan Liona,” ucap Dany.
“Oh?” Liona spontan menengok.
“Gue rasa seminggu kedepan gue benar-benar butuh bantuan lu. Gue bakal sibuk dengan urusan kuliah.” Jelas Dany.
Tanpa harus Dany bicara lebih jelas Liona pun sudah tahu maksudnya.
Intinya adalah seminggu kedepan ia akan berdua dengan Alan tanpa kehadiran Dany disekitarnya. Ini keberuntungan. Ia diam-diam menyeringai girang.
“Terus ini,” Dany menyodorkan sebuah buku kecil ke arah Liona. “Jadwal selama seminggu kedepan sama keperluannya,” terang Dany.
Liona mengangguk mafhum, meski tak menyangka Dany masih menggunakan cara konvensional seperti ini, padahal Liona mencatat semua jadwal Alan di kalender dan note di ponselnya, “Makasih.”
***
Sementara Dany langsung pergi menggunakan taksi. Liona dan Alan berjalan masuk ke dalam gedung ‘PR’ Management. Di tangga teratas Alan menghentikan langkahnya, tepat di depan pintu ia menatap Liona sinis.
“Kenapa? Aku kenapa?” tanya Liona bingung,
Alan mengetukkan ujung jari telunjuknya di permukaan kaca pintu gedung.
Liona tetap tak mengerti.
“Buka pintunya!” ucap Alan akhirnya, dengan helaan nafas enggan.
Liona mengerling, ia tahu memang dirinya yang menyukai Alan, tapi kenapa harus ia yang membukakan pintu? Jelas-jelas dia wanita. Sebagai pria seharusnya Alan yang membukakan pintu untuknya. Bibirnya mengerucut sebal. Masa hal begini saja Alan tak mengerti?
“Lu mau dipecat ya?” sindir Alan.
Pecat? Sepertinya Liona familiar dengan kata itu. Ia berpikir sejenak. Ya ampun bodohnya dia, sesaat Liona lupa dia sekarang ‘pembantu’ Alan. Bukan wanita. Buru-buru ia membukakan pintu untuk Alan, dengan wajah yang tertunduk dalam menahan malu. Seharusnya ia meninggalkan impiannya untuk menjadi ‘wanita Alan’ di rumah sebelum berangkat kerja, jadi dia tak akan menampilkan kebodohannya di depan Alan seperti ini lagi dan lagi.
Begitu masuk, Alan melewati lobi begitu saja tanpa menghiraukan sapaan Ayu, si resepsionis imut. Terus berjalan ke arah pintu ruangan yang mengarah ke ruangan Bu Sofie.
“Jangan masuk dulu!” cegah Ayu. “Bu Sofie sedang ada tamu istimewa.”
“Tamu istimewa?” tanya Liona refleks.
Ayu mengangguk, lalu menatap Liona dengan tatapan nakal. “Pujaan hatinya,” ucapnya setengah berbisik.
“Ah,” Liona mengangguk, “Suaminya?” ujarnya dengan nalar sendiri.