BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #8

8. Ada yang Berbeda, Tapi Kenapa?

Tepat jam tujuh pagi ketika Liona membuka lemari pakaiannya seusai mandi. Ia mengambil tank top hitam dan kemeja warna biru muda. Hari ini ia mengenakan celana jeans tujuh perdelapan dan sepatu kets putih. Juga menyisir rambutnya yang sudah sepunggung dan menguncir kuda dengan karet berwarna hitam. Mengusapkan bedak tipis ke permukaan wajahnya. Memakai sedikit eyeshadow berwarna peach, yang juga tipis di kelopak matanya yang cukup lebar. Ah, sedikit mascara tampaknya juga perlu. Tak lupa menggunakan pelembab bibirnya dengan rona merah muda natural. Lengkap sudah. Dandanan minimalis untuk menyambut semangat yang kembali bangkit. Ia pun tersenyum malu, menatap dirinya di kaca sambil menggigit bibirnya.

Ibunya tengah menyiapkan sarapan di atas meja makan saat Liona keluar dari kamar. Pagi ini ibunya memasak sepanci kecil sayur sup, dan beberapa potong nugget. Liona langsung duduk di kursi makannya. Mengambil secentong nasi yang diletakkan di atas piring kesayangannya.

“Gimana pekerjaan barumu?” tanya ibunya sambil duduk di kursi seberang.

“Seru!” jawab Liona lalu memasukkan sesendok nasi kedalam mulutnya.

“Kamu kelihatannya pulang malem terus, apa gak capek?”

Liona tersenyum, “Sebanding sama gajinya.”

Untuk bertemu Alan, takkan ada kata lelah. Sampai pagi pun gak apa-apa, aku rela. Ucapnya dalam hati.

“Kau kerja di tempatnya?” tanya ibunya tiba-tiba.

Liona berhenti mengunyah dan mengangkat wajahnya, “Siapa?”

Ibunya mengedikkan kepala ke arah kamar Liona. “Orang yang fotonya kau pajang di tembok dari dulu.”

Liona menahan senyum, “Kok ibu tahu?” Ia memang memajang foto-foto Alan, baik itu poster, cover majalah, atau apapun di dindingnya. Ibunya tak pernah protes ataupun menanyakan sebelumnya, mungkin ia hanya mengira anaknya sekedar punya idola. Tak pernah tahu kalau itu cinta pertama sekaligus satu-satunya.

“Ibu tuh tahu apa aja!” Lontar ibunya, dengan nada acuh tak acuhnya yang biasa.

Liona terkekeh dan kembali mengunyah nasinya.

“Ibu selalu pengen kamu bahagia. Tapi jangan terlalu banyak berharap!” Ucap ibunya lagi, dengan mata yang fokus menatap isi piringnya sendiri.

Mendapati perkataan seperti itu dari ibunya, sekalipun diucapkan dengan ekspresi wajah tak peduli. Liona tersenyum bahagia, ia bangkit dari kursinya dan menghampiri ibunya.

“Terima kasih, Bu!” Ia memeluk ibunya dari belakang. Kata-kata sederhana dari ibunya itu akan ia ingat dalam hati, agar dia lebih berhati-hati dalam menghadapi Alan nanti.

Tak ada jawaban dari ibunya. Wanita itu masih bertingkah tak acuh. Sekalipun di sudut bibirnya menyungingkan senyum tipis yang teramat tulus untuk anak satu-satunya.

“Oh iya, kemarin ada temanmu yang datang cari kamu. Katanya dia gak pernah bisa menghubungimu akhir-akhir ini.”

“Siapa?” tanya Liona heran sambil menarik tangannya.

Ibu Liona menggeleng, “Aku lupa namanya. Bocah laki-laki yang dulu sering main sama kamu waktu kerja di toko kue.”

Bocah laki-laki di toko kue? Ah, Dion. Akhir-akhir ini ia memang sering mengirimkan chat ke Liona tapi tak pernah sempat Liona balas.

“Aku tahu, nanti ku hubungi dia,” Liona menghabiskan makanan di piringnya dan bergegas pergi.

  ***

Di tengah perjalanan Liona menghentikan motornya, “Eh ada apaan tuh?” Memanjang-memanjangkan leher agar dapat melihat apa yang sedang dikerumuni anak-anak SMA di tukang majalah kaki lima.

Ah! Pekik Liona kesal. Sudah diduga pasti akan seperti ini. Anak-anak SMA ini, pasti mereka juga yang waktu itu mengerumuni poster Alan di GOR waktu itu. Sekarang mereka mengerumuni majalah yang memuat Alan dengan bertelanjang dada sebagai cover-nya. Liona melihat mereka masing-masing memegang satu majalah.

Sial. Ternyata sumpahnya untuk menjadi pembeli pertama tak tersampaikan.

“Ah, mereka pasti iri kalau tahu aku tiap hari bisa ketemu Alan,” ujarnya coba membahagiakan diri sendiri, lalu kembali menyalakan mesin motornya, melanjutkan perjalanan untuk memulai hari bersama si model cover majalah yang dipegang para remaja itu.

Beberapa saat kemudian senyum hilang di wajahnya, mengingat kejadian saat Alan melakukan pengambilan gambar untuk di cover majalah itu.

Waktu itu, sang fotografer terus mengatur lensanya sebelum memotret Alan. Majalah yang meminta Alan sebagai cover-nya ini adalah majalah khusus kesehatan pria. Selain memuat artikel Alan tentang caranya menjaga kesehatan, yang terpenting adalah Alan harus di foto bertelanjang dada.

Di samping Liona, Dany yang menyempatkan diri untuk menemani sesi pemotretan, dengan sabar menerangkan setiap rincian konsep pemotretan ke Liona. Padahal Liona yang diberi penjelasan justru tak mencerna apapun. Mulutnya hampir menganga. Yang ia lihat hanya Alan. Itu pertama kalinya dia melihat Alan bertelanjang dada dengan bentuk tubuh yang menakjubkan. Entah dari mana asalnya kotak-kotak yang berada di perut itu, Liona pun tak memikirkannya.

Ia mendadak bergeleng, mendadak tak rela sesi pemotretan itu diteruskan. Jika cover-nya tampil nanti, berapa banyak mata wanita yang akan melihat tubuh Alan? Rasanya benar-benar tak rela. Dalam hati bersumpah akan menjadi pembeli pertama jika edisi cover Alan itu terbit nantinya. Ia akan merobek cover-nya dan menempelkannya di dinding kamarnya. Seperti yang ia lakukan dengan foto-foto lain yang sudah menempel di dinding kamarnya.

“Indah banget!” ujarnya teramat pelan, masih tak menyimak penjelasan Dany.

Lihat selengkapnya