BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #9

9. Satu per Satu Mulai Tak Biasa

Begitu memarkirkan motornya dan berjalan memasuki halaman cafe yang bernuansa bunga, Liona langsung disambut oleh Andin yang berdiri menunggunya di depan pintu. Mata Liona sampai mengerjap kaget ketika sampai di depan Andin, yang memakai dress pink dan make up kelihatan agak terlalu tebal.

Tampak seperti bukan dirinya.

“Ayo cepet!” Ia menarik tangan Liona penuh semangat, melangkah masuk ke dalam café. Menuju ke pojok ruangan dekat jendela, di sana seorang pria mengenakan baju biru duduk memandang ke arah mereka. Liona memang sensitif dengan orang baru, dan entah mengapa melihat sorot mata pria ini, ia merasakan hal yang buruk.

“Lio, ini Rico. Rico ini Liona, sahabat aku yang sering aku ceritain!” ujar Andin ceria.

Rico menjabat tangan Liona sambil tersenyum.

Sial, umpat Liona dalam hati.

Pria ini bahkan tak melepaskan genggaman tangannya pada Liona kalau Liona tak menarik tangannya cukup keras. Liona buru-buru duduk di kursi seberang sambil mengalihkan pandangannya dari cowok yang berbadan agak sedikit tambun, tak terlalu tinggi, dan mengenakan kacamata ini.

“Lu mau pesan apa Li?” tanya Andin, duduk terlalu dekat dengan Rico.

“Gak usah.” Geleng Liona, “Gue udah makan siang.”

“Kalau gitu gue pesanin jus ya!” Andin langsung memanggil waiters dan memesankan jus jeruk untuk Liona.

Sementara Andin berkomunikasi dengan waiters, pria di sampingnya tak kunjung melepaskan pandangannya dari Liona. Liona berusaha menahan sekuat tenaga untuk tak memelototinya. Saat Rico mengedipkan sebelah matanya pada Liona. Liona memilih membuang muka, mengepal telapak tangannya menahan emosi.

“Kita resmi berpacaran seminggu lalu!” jelas Andin dengan mata berbinar.

Liona hanya mengangguk dan tersenyum kaku, tak menunjukkan rasa turut bahagia atau simpati sama sekali.

Air wajah Andin mulai berubah. Ia menghela nafas pelan dan melepas senyum yang sedari tadi tak pernah pergi dari bibirnya.

“Emm, aku ke toilet dulu!” serunya datar lalu beranjak dari tempat duduknya dan menghilang di ujung ruangan.

Sepergian Andin, tatapan Rico makin menjadi, senyumnya yang menjijikan mengembang dengan bangganya. Liona benar-benar tak bisa menahan rasa mualnya saat Rico menyodorkan kartu nama padanya.

“Buat apa?” tanya Liona sinis.

Sambil membetulkan kerah baju Rico menjawab santai, “Kamu bisa telepon aku kalau sudah sampai di rumah.”

“Cih!” cibiran yang sejak tadi ditahan pun dikeluarkan apa adanya, Liona mendengus sinis. Matanya memelototi pria menjijikan ini, “Lu serius sama Andin?”

Rico malah cengengesan. Kedua tangannya direntangkan di bahu kursi. “Aku,” jawabnya terdengar main-main. “Selalu ‘serius’ dalam menjalin hubungan. Kau juga bisa ‘serius’ sama aku.” Lanjutnya.

Demi apapun, Liona muak setengah mati. Ia benar-benar tak tahan dengan lelaki tak beres di depannya ini. Ia mengepalkan telapak tangannya erat-erat, ingin sekali menghadiahkan Rico sebuah tinju di mulutnya yang menjijikan itu, tapi Andin sudah kembali, dan raut wajahnya tampak tak enak dipandang. Sepertinya ia sedikit menyaksikan interaksi antara Liona dan pria ini tadi dari kejauhan.

Liona segera beranjak dari kursinya, “Gue tak bisa lama-lama. Maaf gue duluan.”

Andin menarik tangan Liona, matanya menatap marah. Liona tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya. Ia menghempas tangan Andin dan berjalan keluar café. Tanpa kata, Andin langsung mengejarnya. Kembali menarik tangan Liona saat ia sudah berada di atas motor.

“Kenapa Li? Kok lu gitu sih!!”

Liona menggigit bibirnya, mengatur nafasnya yang kian emosi. Tak mengerti kenapa tiba-tiba Andin mengenalkan pacarnya, dan tak mengerti kenapa Andin yang cerdas malah pacaran sama cowok buaya begitu. “Gue ada janji lagi. Gue gak bisa berlama-lama.” Dustanya hendak mengenakan helm.

“Lu iri?” Lontar Andin, membuat Liona menghentikan gerak tangannya. “Kalau nggak kenapa lu ketus dari tadi!” Sambungnya terlihat benar-benar marah.

Liona menghela nafas, menggigit bibirnya menghindari pandangan dari orang-orang sekitar yang menaruh perhatian karena Andin berseru cukup keras.

“Lu iri gue punya pacar duluan kan? Padahal lu gak bisa lupain Alan lu itu!”

“Andin!” bentak Liona tak habis pikir.

“Terus kenapa?” adu Andin lebih keras.

Lagi-lagi Liona menggigit bibirnya, “Gue gak bisa bilang.” Langsung memakai helm.

“Jadi ini balesan lu?” Protes Andin.

Liona menghentikan tangannya untuk menekan starter motornya.

“Ini balesan lu setelah gue kasih lu kesempatan buat dekat sama Alan? Padahal gue cuma mau ngenalin cowok gue, gue mau lu jadi orang pertama yang gue kasih tau. Lu lupa dulu kita pernah janjian kalau punya pacar kita harus ngenalin satu sama lain?”

Liona terdiam menggenggam stang motor dengan kencang. Ia memang lupa dengan janji itu. Tapi tak berpikir sampai hati Andin bisa mengatakan hal seperti tadi. Kali ini Liona menjawab, apapun yang keluar dari mulutnya, hasilnya akan sama saja. Andin nampak dibutakan cinta dan sedang tak bisa berpikir logis. Sekarang masalah sudah terlanjur runyam. Jadi Liona memilih menyalakan mesin motornya, tak ada gunanya tetap berada di sini.

“Terserah lu mau pikir apa. Nanti lu juga bakal ngerti sendiri!” ujarnya sambil menaikan standar motor.

“Oke, terserah! Gue gak butuh teman kayak lu!” balas Andin, berbalik dan kembali ke café.

Lihat selengkapnya