BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #10

10. Terabaikan Karena Dia

Hari ini Liona datang lebih pagi, berniat memberikan senyum cerianya pada Alan yang biasanya sedang duduk di sofa sambil membaca artikel di tabletnya. Meski terjadi sesuatu yang menyebalkan kemarin sore, tapi apa yang terjadi sejak pagi sampai dia pulang kerja, senyum Alan, perlakuannya yang lebih manis, membuat Liona bersemangat untuk memulai hari ini.

Tapi rencananya buyar begitu saja saat memasuki rumah Alan dan tak menemukan siapa-siapa di ruang tamu.

Liona menyebarkan pandangan ke sekeliling mencari keberadaan Alan.

“Sudah berangkat, Mbak!” seru Bi Darti dari lantai atas.

Liona mendongak tercengang, “Udah berangkat?”

Bi Darti mengangguk, kembali membersihkan pegangan tangga dengan kain di tangannya.

Masih terdiam bingung di tempatnya berdiri, Liona memandang ke jam tangannya yang berwarna silver lalu memandang ke jam dinding di rumah Alan. Tak ada perbedaan. Ia tak terlambat, kenapa Alan berangkat lebih dulu? Tanpa kabar, tanpa perintah apapun. Selama hampir sebulan ia bekerja dengan Alan, baru kali ini dia pergi sendiri ke lokasi tanpa menginfokan.

Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mencari-cari chat yang ia terima dari Dany beberapa hari lalu. Lokasi syuting iklan Alan hari ini. Bersyukur masih ada, lebih baik bergegas menyusul sesegera mungkin. Tak mau mengulur waktu, Liona berlari kecil keluar rumah, segera memakai helm dan menyalakan mesin motornya.

Beberapa saat kemudian ia kembali terdiam, alamat yang barusan ia baca. Ia sama sekali tak tahu tepatnya berada di mana. Pantai Indah Kapuk, Liona sangat sering mendengar daerah ini. Namun tak sekalipun pernah menginjakkan kaki kesana. Setahu Liona, Pantai Indah Kapuk itu luas. Lalu dimana taman yang dimaksud di alamat yang Dany berikan? Dia juga tak pintar dalam menyusuri jalan untuk mencari alamat.

Ia menggigit bibirnya frustasi. “Bisa-bisa nyasar, gak ketemu.” Ia membuka helmnya lagi. Ia menggaruk kepalanya dengan kasar.

“Taksi!” serunya tiba-tiba. “Ya benar, naik taksi pasti lebih cepat sampai. Supir taksi pasti tahu tempat ini.” Ia tersenyum lebar, dan segera mematikan mesin motornya dan berlari keluar halaman rumah.

 

Tak sia-sia menghabiskan tiga kali lipat uang bensin untuk motornya sehari hanya untuk membayar ongkos taksi sekali antar. Dalam waktu kurang dari satu jam, Liona sudah sampai di tujuan. Ia yakin ia sampai di tempat yang benar, karena dari sisi manapun tempat ini terlihat memiliki aktivitas yang lumayan mencolok. Banyak orang-orang yang terlihat sibuk hilir mudik. Di antara pepohonan taman dan deretan tanaman bunga, ada kamera, lampu sorot dan segala macam hal yang Liona pernah lihat di acara behind the scene sebuah film di televisi.

Liona menggigit bibir bingung, kemana ia harus melangkah di tengah orang-orang yang sibuk ini. Disaat-saat seperti ini jika ada Dany akan lebih berguna. Tapi pria itu sudah berkali-kali bilang kalau hari ini dia akan sulit dihubungi karena sedang ujian di kampusnya. Liona menghela nafas dan menatap ujung sepatunya.

“Lagi ngapain lu disini?”

Suara berat yang merdu ini, satu-satunya yang ada dalam ingatan Liona hanya milik Alan. Ia pun mengangkat wajahnya, menatap Alan yang mengenakan jaket kulit hitam. Liona nyengir kuda, dalam detik itu pula ingin sekali ia memeluk erat Alan. Rasa rindunya meletup-letup tak karuan, rasa lega akhirnya bertemu juga.

“Kamu kenapa berangkat duluan?” tanya Liona pada akhirnya.

Tak menjawab, Alan justru berjalan menjauh. Liona menggigit bibir, mengejar langkah Alan dengan berlari-lari kecil. “Padahal aku dateng lebih awal di rumah!” tambah Liona. Alan kali ini menghentikan langkahnya, Liona mengambil kesempatan ini untuk berdiri berdampingan.

Lihat selengkapnya