Jam sudah menunjukkan pukul empat belas lewat lima menit, namun belum ada tanda-tanda Alice dan Alan kembali. Perut Liona sudah melilit lapar, tapi kakinya bagai dipaku pada tempatnya. Ia takut jika ia pergi mencari makanan, Alan akan kembali dan menemukan tempat ini kosong, ia sudah gagal sebagai wanita, tak ingin gagal lagi sebagai pekerja.
Langit semakin berubah gelap, awan hitam bergulung-gulung. Samar-samar, lalu semakin jelas, petir menggelegar dan kilat menyambar-nyambar dari balik kegelapan yang makin pekat. Angin mulai berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dan menerpa wajah Liona yang masih duduk mematung.
Tapi Liona tetap bertahan di tempat itu, memeluk erat tas Alan seolah-olah itulah satu-satunya penahan badai yang akan segera datang. Mungkin tindakannya akan terlihat bodoh. Tapi di dalam hatinya sudah tak ada ruang untuk peduli pada penilaian orang lain, termasuk Alan. Dirinya sudah terjatuh terlalu dalam dalam peran sebagai "pembantu" Alan, sudah terlihat terlalu menyedihkan di mata siapapun yang melihat.
Jadi biarlah. Biarlah badai datang. Biarlah dunia melihat betapa tragisnya dirinya. Yang penting Alan tahu bahwa ada seseorang yang menunggunya, sampai kapanpun, biar dia tak pernah mendapatkan hati itu sebagai perempuan, setidaknya Alan bisa melihat kalau dia bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya.
Entah ini tindakan nekat, bodoh, keras kepala, atau sekadar bentuk protes diam-diam terhadap perlakuan Alan yang tak menentu, kadang hangat, kadang membeku, Liona sendiri tak tahu. Yang ia rasakan hanyalah hampa dan lelah. Hari ini, ia merasa telah mencapai titik terendah dalam hidupnya, seakan-akan dunia dengan sengaja mengikis setiap sisa harga dirinya hingga habis.
Dan kini, di tengah ancaman badai yang makin menjadi, ia hanya ingin menguji: sejauh mana lagi hidup mampu merendahkannya? Seberapa dalam lagi ia bisa terjatuh? Seperti seseorang yang dengan sengaja membiarkan dirinya tenggelam hanya untuk membuktikan bahwa laut memang tak memiliki dasar, atau justru untuk menemukan bahwa sebenarnya masih ada karang yang bisa diinjak.
Dengan tas Alan masih erat dalam pelukannya, ia menatap langit yang makin kelam. Biarlah hujan turun. Biarlah petir menggelegar. Ia sudah tak memiliki apa-apa lagi untuk dirinya kecuali mungkin, kepasrahan yang getir dan sebuah harapan kecil yang mungkin sia-sia: bahwa suatu saat nanti, Alan akan mengerti pengorbanan diam-diam ini.
Mata Liona mengarah ke para kru yang hilir mudik masih dengan kesibukan masing-masing. “Rapihin semua peralatan. Kayaknya bakal muncul hujan besar!” Seru seorang pria tambun berkaca mata yang sejak awal sibuk memerintah ini dan itu.
“Kasih tahu Alan, sepertinya hujan bakal deras. Kita lanjutkan besok saja!” Lagi-lagi pria tambun itu memerintah dengan suara melengking. Gerakan para kru semakin cepat, merapikan semua peralatan dan memasukkannya ke dalam mobil.
Liona tetap diam di tempat, matanya bergerak kesana-kemari, tapi tatapannya kosong. Ia tak mendengar seruan lantang dari Sutradara tadi. Tersapu oleh gelegar petir dan langkah buru-buru dari bubaran orang yang semula berkerumun di sekitar.
Pikirannya sedang pergi entah kemana. Bahkan saat air dari langit mulai menetes perlahan, kemudian semakin deras dan mobil-mobil pengangkut peralatan itu pun mulai pergi satu per satu. Liona masih terdiam di tempat. Tatapannya kosong. Seolah akal sudah pergi jauh dari otaknya.
Saat hujan semakin terasa membasahi kakinya, Liona baru bergerak. Tapi bukan untuk beranjak pergi mencari tempat yang lebih teduh. Melainkan mengangkat kedua kakinya ke atas bangku agar tak terendam genangan, kedua tangannya tetap memeluk tas Alan. Sementara tas miliknya sendiri dibiarkan tergeletak di sampingnya kebasahan.
Air matanya mulai mengalir, sayup-sayup tak begitu terasa. Mengalir bersama air hujan di pipinya. Tangisan berubah menjadi isakan, dan isakan itu pun semakin teriakan.
Ia lelah. Lelah menghadapi cinta yang terasa makin berat dan makin menyedihkan ini.
Wajahnya berubah pucat pasi. Tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Jam tangan nya yang murah sudah mulai tak berfungsi lagi. Meski hujan sudah kini berhenti, angin yang berhembus kencang begitu menyakitkan menyentuh tubuh basah Liona di hari yang semakin malam. Ia terisak, masih terisak sampai tak mendengar apapun di sekeliling selain suara tangisannya sendiri. Pandangannya semakin kabur, kesadarannya menghilang.
Liona terjatuh dari tempat duduknya.
***
Dengan lemas, Liona mencoba mengangkat kelopak matanya yang terasa berat. Pandangannya masih berkunang-kunang, tetapi ia menyadari bahwa tubuhnya terbaring di balik selimut yang hangat. Ia tak tahu di mana berada, ruangan ini asing, dengan lampu temaram dan dinding yang dipenuhi rak berisi buku-buku.
Yang jelas, dari balik pintu yang tertutup, ia mendengar suara dua orang yang sedang bertengkar. Suara itu samar-samar, namun cukup keras hingga ia bisa menangkap namanya disebutkan.
Liona mencoba duduk, tetapi kepalanya masih pusing. Ia meraba dahinya yang berkeringat dingin, mencoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali sebelum ia tidak sadarkan diri. Bayangan Alan, hujan deras, dan rasa perih di hatinya kembali menyergap. Dan kini, di ruangan asing ini, ia seperti menjadi bahan perdebatan, sebuah masalah yang memicu amarah antara dua suara yang ia kenali: Alan dan Dany.
“Lu gak ingat nyuruh dia nunggu di sana?”
Liona mendelik. Ia tahu itu suara Dany.
“Kalau ingat, emang gue harus apa?” sahut Alan.