BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #12

12. Hilangnya Batas Nyata dan Mimpi

Liona menggaruk lehernya sambil menunduk sungkan. Belum genap sebulan bekerja tapi dia sudah minta izin buat pulang lebih cepat hari ini, karena ada janji dengan salah satu pemilik kontrakan yang dia minati. Sebuah rumah kecil yang sedikit kelihatan kumuh tapi bersedia di bayar sewanya saat akhir bulan nanti. 

“Nyari kontrakan?” Tanggap Dany heran.

Awalnya Liona bingung harus minta izin pada siapa kalau-kalau hari ini Dany tak datang. Mengingat apa yang terjadi kemarin, bagaimana pertengkaran Dany dan Alan, Liona takut pria ini tak hadir di lokasi syuting lanjutan minuman isotonik yang kemarin tertunda. Tapi anehnya, Dany hadir pagi-pagi, berdiskusi dengan sutradara, memastikan jadwal-jadwal Alan selanjutnya, dan yang paling mengagetkan, mengobrol santai dengan Alan setelahnya.

Liona tak tahu, apa yang sebenarnya terjadi antara dua pria itu. Kenapa kemarin sampai bertengkar, apa benar-benar karena dirinya atau hal lain. Untuk saat ini, dia tak begitu peduli. Karena pikirannya sedang kacau oleh ‘pelarian’ mendadak yang tengah dilakukan oleh dia dan ibunya.

“Emang rumah lu kenapa?” tanya Dany lagi, karena tak mendapat jawaban dari Liona.

“Mau dijual,” jawab Liona, sambil menunduk, mengetuk ujung sepatu kets putihnya ke rumput taman.

“Hah?” Dany hendak bertanya kenapa tapi takut menyinggung. “Tapi,” Matanya berputar seraya berpikir. “Belum laku kan? Lu masih bisa tinggal di rumah dulu?”

Tak ada yang Liona lakukan selain menggigit bibirnya. Ia tak tahu harus bagaimana menjelaskan agar Dany berhenti bertanya atau agar paham kalau dirinya sedang dalam kondisi buru-buru keluar dari rumah.

“Kenapa?” suara Alan tiba-tiba muncul di belakang mereka.

“Eh, Liona tinggal di rumah lu aja bisa, gak?” celetuk Dany.

Mata sipit Liona terbuka lebar, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pikirannya berputar cepat, mencerna saran tak terduga dari Dany. Kemarin pria itu marah besar menyaksikan Alan meninggalkannya dalam hujan, kini justru mengusulkan hal yang bagi Liona terdengar begitu tak masuk akal.

“Yaudah,” sahut Alan singkat. Langsung menghilang lagi dari pandangan.

Rahang Liona jatuh bebas. Apa itu barusan? Alan mengiyakan? Begitu mudahnya? Tanpa bertanya alasannya, tanpa protes, tanpa bicara apapun selain ‘yaudah’?

“Nah tuh!” Dany menepuk bahu Liona. “Masalah selesai, tinggal di rumah Alan dulu sampai nanti gajian.”

Bagai boneka rusak, Liona hanya bergeming tanpa kedip. Saking terkejutnya akan yang baru saja terjadi.

Kenapa? tanyanya dalam hati. Kenapa disaat dia sudah berusaha untuk sadar diri dan tak berharap banyak pada cintanya ke Alan, hal-hal seperti ini muncul begitu saja dan membuat dirinya seakan bebas bermimpi? Padahal baru kemarin takdir menunjukkan kalau dirinya diperosokkan jauh ke jurang kesialan, kenapa sekarang diterbangkan tinggi lagi? Apa agar merasakan lagi sakitnya jatuh?

***


Tepat di depan pintu rumah Alan, Liona berdiri mematung. Menggigit bibir sambil, mengencangkan pegangan tangan di koper. Sejenak memejamkan mata.

“Asal gajinya dipotong buat sewa.” Ujar Alan kemarin, di perjalanan pulang syuting. Jadi pada akhirnya, dengan sifat dinginnya yang kadang kelewat tega, Alan punya sedikit rasa kasihan dan membantunya untuk mendapat tempat tinggal sementara? Bentuk amal pada orang tak mampu?

Liona bergeleng, masih berdiri di depan pintu rumah Alan. Percuma mencoba menebak-nebak pikiran Alan, ia tak akan mampu. Sekarang ibunya sudah pergi ke kampung, sementara ia tak punya uang tabungan. Andin masih tidak ada kabar. Dany tinggal bersama orang tuanya, tapi jika dipikir masih jauh lebih aman ketimbang tinggal dengan Alan tanpa pengawasan orang tua di rumah pribadinya ini. Atau justru bahaya?

Ia menggigil, ia tak takut dengan Alan, malah takut dengan dirinya sendiri. Waspada kalau-kalau tak bisa menahan diri, hanya berdua dengan Alan di rumah ini. Bagaimana kalau dia lepas kendali? Bagaimana kalau dia gila sendiri?

Masih belum bisa mengambil keputusan, pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka. Alan berdiri di hadapannya, mengenakan jaket dan topi hitam. “Ngapain di sini?” tanyanya, melirik dingin ke koper di tangan Liona.

Liona menggigit bibir, tak bisa menjawab.

“Cepat masuk, taruh koper lu.” Sambung Alan, membuat Liona melongo kaget.

“Bi!” seru Alan.

Tak lama kemudian Bi Darti datang menghampiri. “Antar Liona ke kamarnya.” Perintahnya.

Lihat selengkapnya