BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #13

13. Ketegangan Antara Dua Pria

Matanya terbuka perlahan, disambut sinar matahari pagi yang menyelinap dari jendela di atas tempat tidurnya. Silau. Liona mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya bisa membuka mata lebih lebar. Ia segera duduk di kasur, menatap sekeliling kamar yang asing namun mewah, kamar yang disediakan Alan untuknya di rumahnya. Ruangan besar ini hanya diisi tempat tidur king size dan lemari pakaian tinggi menjulang hingga langit-langit. Tak ada foto atau hiasan lain, hanya kesan minimalis dan steril. Pandangannya tertuju pada koper yang masih teronggok di sudut dekat pintu, di depan dinding berwarna putih gading.

"Pusing," keluhnya sambil memegangi kepala yang berdenyut-denyut. Perlahan ia turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu. Saat membukanya dengan hati-hati..

"Lama banget tidurnya!"

Liona nyaris terlonjak kaget. Alan berdiri tepat di hadapannya, tampak sudah siap dengan pakaian rapi.

"Minum nih!" Cowok itu menyodorkan segelas air dan sebutir obat putih.

"Apa ini?" tanya Liona ragu, memandangi pil di telapak tangannya.

"Itu paracetamol," sahut Alan sambil sudah membalikkan badan untuk pergi. "Kalau yang semalam itu ciuman." Tambahnya santai sebelum melangkah menuruni tangga, meninggalkan Liona yang terpaku di tempat.

"A—ap—a?" ucap Liona tergagap, baru tersadar memori semalam yang berkelebat di kepalanya. "Itu beneran?" bisiknya pada diri sendiri, wajahnya memerah merona. Dengan gerakan otomatis, ia memasukkan paracetamol ke mulut dan refleks menyentuh bibirnya sendiri. "Ah, pahit!" serunya buru-buru menenggak air putih yang masih dipegangnya.

Tangannya yang bebas langsung mendekap mulutnya kencang-kencang, menahan diri agar tidak berteriak. Jantungnya berdebar kencang, campuran rasa malu, kaget, bingung, dan banyak kegirangan.

"Itu bukan mimpi!" katanya dalam hati, sambil merasakan sisa-sisa kelembaban khayalan yang tiba-tiba terasa sangat nyata.

“A-Alan!” ujarnya buru-buru menuruni tangga, jantung berdebar kencang. “Alan, semalem..” Mulut Liona langsung terkunci rapat saat melihat suasana ruang tamu.

Duduk di sofa bukan hanya Alan, tapi juga Dany yang sedang memandangnya dengan tatapan penuh tanya. “Semalem kenapa?” tanya Dany, alisnya naik penuh rasa ingin tahu.

Liona mendadak kaku bagai patung. Matanya bergerak cepat ke sudut ruangan, menangkap senyum miring Alan yang sedang asyik membaca artikel di tabletnya, senyum yang sama sekali tidak membantu situasi.

Apa itu? Apa senyuman itu? Mirip seperti sedang mengejek. Dahi Liona berkerut halus, bingung antara ingin marah atau malu.

“Lio!” panggil Dany lagi, suaranya lebih penasaran. “Semalem kenapa?” ulangnya, sekarang dengan senyum kecil yang mulai mengembang.

“Ah!” Liona buru-buru memaksakan senyum palsu. “Nggak apa-apa! Gue mandi dulu.” Pamitnya tergesa-gesa sebelum berbalik dan berlari kembali menaiki tangga, meninggalkan dua pasang mata yang memperhatikan setiap langkahnya.

Dany memandangi punggung Liona yang menghilang di balik tangga, lalu mengalihkan pandangannya ke Alan yang duduk di sebelahnya dengan wajah datar acuh tak acuh.

“Kemarin sore, pas gue bilang mau ke sini bantuin Liona unpacking barangnya, lu bilang ada kerjaan mendadak,” ucap Dany, matanya menyipit penuh curiga. “Kerjaan apaan? Bukannya gak ada jadwal?”

Alan tetap tak menjawab, hanya mengangkat bahunya singkat sambil mengambil cangkir kopinya dari atas meja. Dia menyeruput pelan, seolah tak ada yang lebih penting dari rasa kopi di pagi ini.

Mata Dany memicing lebih dalam, gelagat Alan semakin hari semakin jelas. “Lu bener nggak suka sama Liona?” tanyanya blak-blakan, tak mau berputar-putar lagi.

Alan meletakkan cangkirnya perlahan. Senyum tipisnya kembali muncul, kali ini disertai pandangan yang dalam. “Kenapa lu seneng banget nanya kayak gitu sih?”

Lihat selengkapnya