BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #14

14. Lebih Sadis Dari Penolakan

“Hah!” Liona melontarkan tawa sinis. “Hahahaha!” Mulutnya tertawa, tapi matanya penuh amarah.

Duduk di bangku kayu di bawah sebuah pohon mangga yang rindang. Ia menengadah, menatap langit yang siang ini berwarna biru cerah. Kakinya berayun di atas rumput hijau yang sesekali diterpa percikan air dari kolam air mancur di sebelah kirinya. Ujung kemeja merah mudanya yang tak dikancing, melambai-lambai tertiup angin. Sementara baju putih yang ada di dalamnya, terdapat bercak noda es krim yang tadi dimakannya. Bodohnya lagi, hari ini ia memakai celana pendek putih, yang jelas langsung kotor bagian bokongnya karena dia tak berhati-hati kalau duduk. Tapi peduli apa dirinya tentang penampilannya hari ini? Hidupnya memang sudah berantakan tak karuan.

Sekali lagi, ia tampak telah berhasil membodohi dirinya sendiri dan ditampar oleh kenyataan bahwa dia lebih bodoh dari yang ia kira. Apa yang dia harapkan? Alan menyukainya? Omong kosong! Cowok itu selama beberapa hari ini bertingkah dingin, mengacuhkannya, seakan dia tak kasat mata. Satu-satunya waktu dia memanggil hanya untuk meminta barang ini dan itu yang ada di dalam tasnya, menerima tanpa berkata apa-apa, berlalu tanpa terima kasih.

Semula Liona percaya kejadian di café itu adalah nyata, tapi sekarang ia harus menyadarkan dirinya sendiri bahwa semua itu memang lebih masuk akal dianggap sebagai mimpi. Memang benar semua hal itu terjadi, tapi tak ada yang berubah sama sekali setelah hari itu berakhir. Tadi, Alan bahkan makan siang dengan Alice. Meninggalkanya sendirian.


Dalam seminggu  ini beberapa kali Alan pulang ke rumah orang tuanya, meninggalkan Liona di rumah besar itu bersama Bi Darti yang cuma ada di pagi sampai sore hari. Selebihnya, meringkuk ketakutan di dalam kamar malam-malam, sendirian. Selain itu, semuanya berjalan normal, kelewat normal, seperti tak pernah terjadi sesuatu diantara mereka.

Hari ini pun tak ada beda, padahal tak ada kegiatan pertandingan ataupun jadwal lainnya. tapi Alan meninggalkannya begitu saja di rumah. Kalau saja Dany tidak kebetulan datang untuk meminjam buku Alan dan berinisiatif mengajak Liona ke kampusnya, mungkin sekarang dia sedang menonton acara TV yang membosankan di sofa rumah Alan. Bukannya duduk di taman kampus seperti sekarang.

“Liona?”

Liona mengenal suara itu, tapi tak menyangka akan mendengarnya di sini, ya kalau dipikir ulang, wajar saja, ini kampusnya. “Apa kabar?” sapanya kikuk, mendongak ke Andin yang berdiri di hadapannya.

“Baik,” sahut Andin sama kikuknya. “Lagi ngapain di sini?”

“Oh, gue ikut Dany. Kebetulan Alan lagi gak ada jadwal kerja.” Liona menatap kakinya sendiri yang masih berayun-ayun di bangku. Beberapa detik kemudian, keduanya hanya diam dalam kesunyian yang sedikit canggung. Hingga akhirnya Andin memecah kesunyian.

“Gue... gue minta maaf. Untuk kejadian beberapa minggu lalu,” ujar Andin dengan suara sedikit gemetar oleh sesal.

Liona menyunggingkan senyum lebar yang terlalu dipaksakan. “Udah, lupain aja. Gue udah gak inget.” Dustanya kemudian tertawa ringan. Ia bisa menebak bahwa Andin akhirnya menyadari kesalahannya, tapi Liona tak terlalu ingin tahu prosesnya. Dan apa yang terjadi antara dirinya dan Rico minggu lalu, itu sesuatu yang tak ingin ia bahas dengan Andin.

Andin menatapnya sejenak, lalu tersenyum lega. Meski malu dengan kelakuannya waktu itu, melihat sikap santai Liona membuatnya bisa bernapas lebih ringan. “Jadi lu lagi nunggu Dany?” Ia mengubah topik pembicaraan.

Liona mengangguk.

“Jadi lu sekarang udah buka hati buat Dany?” Andin menyenggol bahu Liona dengan nada menggoda.

“Apa sih!” elak Liona, pipinya memerah.

“Jadi masih tetap Alan?” Mata Andin menyorot tajam, wajahnya mendekat penuh rasa ingin tahu.

Liona mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. “Gue sekarang tinggal di rumahnya!”

“Ha?” Andin membelalak, matanya bulat seperti pingpong. “Lu harus cerita sama gue semuanya!” Tapi tiba-tiba perhatiannya teralih ke jam di tangannya. “Sekarang ikut gue dulu!” tambahnya buru-buru, beranjak dari tempat duduk dan menarik tangan Liona. “Kabarin Dany kalau lu pergi sama gue!”

“Eh, mau kemana?” tanya Liona bingung, tapi sudah terbawa berdiri.

“Udah, ikut aja!” desak Andin, terus menariknya meninggalkan area kampus.

  ***

Tepat pukul sepuluh malam, Liona turun dari mobil Andin di depan pintu gerbang rumah Alan. “Ceritain nanti respon Alan!” Andin mengedipkan sebelah mata, sebelum menarik kepalanya dari jendela mobil dan melambaikan tangan sambil melajukan mobilnya perlahan.

“Huuuh!” Liona menghembuskan napas panjang. Tangannya meraba rambutnya yang sore tadi dipaksa makeover oleh Andin di salon langganannya. Rambut sepanjang bahunya kini dipotong bob rata, hanya sekitar tiga sentimeter di bawah telinga, dan warnanya bukan lagi hitam melainkan coklat terang yang kontras dengan kulitnya.

“Respon Alan?” gerutunya dalam hati, melangkah pelan memasuki pintu rumah. “Gue bertaruh dia gak peduli sama sekali.” Belum apa-apa, hatinya sudah kesal sendiri. Tapi begitulah kenyataannya, meski Alan tak pernah bisa ditebak, namun untuk hal yang satu ini, dia benar-benar yakin. Berani pasang besar kalau taruhan.

Pria yang mencium bibirnya, hanya karena kesal dia suka menggigit bibir dan menekankan bahwa hal itu bukan mimpi, lalu kemudian bersikap dingin lagi seolah tak terjadi apa-apa, seolah dia tak menganggap Liona adalah orang penting dalam hidupnya, mau bersikap bagaimana hanya karena perubahan potongan rambutnya? Bukan lagi pesimis, Liona menyebut sikapnya ini sebagai tahu diri dan kenal situasi. 

Ternyata percuma berusaha masuk diam-diam. Begitu membuka pintu, ruang tamu masih terang benderang, bertolak belakang dengan harapan Alan sudah tidur

Liona yang menghentikan langkah, menengok ke sekeliling. TV masih menyala, tapi tak ada seorang pun di sofa.

“Dari mana aja?”


Suara Alan tiba-tiba muncul dari arah dapur. Ia membawa sepiring mie goreng, matanya hanya sekilas melirik Liona sebelum mengalihkan pandangannya begitu saja. Seakan pertanyaannya tak butuh jawaban, Alan langsung duduk di sofa dan menatap layar TV dengan fokus.

Liona menghela napas. Benar, kan? Alan tak peduli.

“Liona?”

Kali ini suara Dany yang memecah kesunyian. Ternyata ia juga ada di rumah, sama-sama memegang piring mie goreng. Ia mendekat dengan langkah santai. “Ya ampun, gue hampir gak ngenalin. Lu ubah gaya rambut?”

Liona nyengir kuda. “Aneh gak?”

Tanpa ragu Dany langsung menggeleng. “Cantik!”

Wajah Liona memerah. Ia tak bisa menyembunyikan senyum kecilnya. “Makasih!”

Dany ikut tersenyum. “Makasih buat apa? Untuk bilang cantik cewek yang emang cantik?”

Lihat selengkapnya