Dahi Andin berkerut, lagi-lagi menggeleng. Sekali lagi menghela nafas dan untuk sekian kalinya mendengus kesal. “Benar-benar cowok jahat!” umpatnya setelah mendengar curhatan Liona, menengok ke Liona yang duduk di kursi penumpang tepat di sebelahnya. “Jadi sekarang apa rencana lu?”
“Gue bingung,” sahut Liona, tak perlu ia ucap pun Andin bisa melihat dengan jelas temannya ini sedang kebingungan.
Andin memutar kemudi mobil, meminggirkannya tepat di depan kantor PR Management. “Kalau menurut gue,”
Liona segera menyimak, ia saat ini memang sangat butuh saran.
“Lu harus konsisten sama apa yang udah lu ucap,” sambung Andin, memiringkan badannya menghadap Liona. “Lu kan udah terlanjur bilang sudah gak ada perasaan sama dia. Jadi mulai sekarang lu sekarang harus bersikap biasa saja. Tetap kerja seperti biasa, bersikap sewajarnya kalau lagi sama Alan. Tunjukin kalo lu emang udah gak ada perasaan.”
“Meskipun itu bohong,” sela Liona.
“Ya, meskipun itu bohong!” Angguk Andin. “Berusaha Liona! Lagian sih, udah dari dulu gue bilang lupain Alan!”
Liona merengek, “Gue juga maunya begitu.”
“Ck!” decak Andin iba melihat Liona. “Ya udah jangan terlalu dipikirin. Sekarang yang penting kerja aja. Urusan Alan biar waktu yang jawab! Fokus nyari duit!”
Kali ini Liona mengangguk setuju, biar waktu yang menjawab, mau jadi bagaimana hubungan mereka nantinya. Dia sudah terlanjur basah sekarang, mundur tak bisa, maju apalagi. Jadi serahkan saja pada waktu, seperti yang Andin bilang barusan.
Sambil mengucap terima kasih pada Andin ia keluar mobil, mencoba fokus pada pekerjaan. Memantapkan langkahnya memasuki gedung PR Management. Dia ambang pintu lobi dia bisa melihat Ayu melambaikan tangan menyambutnya, “Apa kabar?” sapa Ayu ramah, berdiri dari kursinya begitu Liona sampai di depan meja lobi. “Kayaknya kamu harus menunggu sedikit lama.”
“Ada tamu spesial?” tebak Liona.
Disambut anggukan oleh Ayu, “Sudah hampir sejam mereka ngobrol, tapi masih belum keluar. Ini aneh, gak seperti biasanya.”
Liona ikut menebak-nebak, namun tak lama ia melihat sosok pria tinggi besar berjalan dari arah lorong. “Oh, itu dia!”
Ayu buru-buru menengok ke arah yang Liona maksud, “Oh iya!” Ia langsung meraih telepon di mejanya, menghubungi Bu Sofie. “Kamu bisa masuk sekarang!” katanya ke Liona, sejenak setelah menutup telepon.
Sepanjang langkahnya menuju ruangan Bu Sofie, Liona teringat senyum sapa Produser Chaka saat berpapasan di lobi tadi. Pria itu memang terlihat sangat ramah, tampak mempunyai pribadi yang hangat, mengingatkan Liona pada Dany. Tiba-tiba saja dia teringat perkataan Andin dulu, heran sendiri kenapa sampai sekarang dia tidak bisa menyukai Dany. Padahal pria itu jauh lebih hangat padanya ketimbang Alan.
Setelah mengetuk pintu dan memberi salam, Liona mendekati kursi. Takut-takut melihat Bu Sofie yang tengah menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Pe-permisi! Aku kesini mau membicarakan..” Liona tak menyelesaikan ucapannya, keburu bingung ketika Bu Sofie menurunkan tangannya dari depan wajah.
Wanita ini menangis.
Bola mata Liona berputar, mestinya ini bukan waktu dia untuk mencampuri urusan orang lain. Tapi seorang wanita menangis di hadapannya, tidak mungkin ia hanya diam dan pergi begitu saja, naluri sesama wanita menahannya. “Maaf, kalau boleh aku tahu, ada apa, Bu?” tanyanya sambil mendekat.
Sofie terisak sembari terus menghapus airmata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipi, “Aku, aku lagi frustasi. Aku gak seharusnya ngomong gini sama kamu. Aku malu. Tapi aku gak bisa berhenti nangis”
“Nggak. Nggak apa-apa.” Liona menenangkan, telapak tangannya bergerak di udara. “Aku gak keberatan.” Ia meyakinkan, “Aku gak akan beritahu siapapun, janji.” Tambahnya buru-buru. “Bu Sofie kenapa?”
“Ini.” Sofie menunduk, “Soal seseorang.” Ia menatap wajahnya sendiri di permukaan mejanya yang dilapisi kaca.
“Laki-laki?” tebak Liona.
Sesuai dugaan Liona, Sofie mengiyakan. “Aku udah suka selama dua tahun terakhir. Aku juga sudah sering bikin alasan biar punya waktu buat ngobrol sama dia.”
Liona tahu yang Sofie maksud adalah Produser Chaka. “Terus?”
“Tapi dia sepertinya nggak pernah sadar sama perasaan aku.” Sofie mengangkat wajahnya. “Menyedihkan, kan?”
Ketika Liona menggeleng tegas, Sofie mengangkat kedua alisnya tak menyangka mendapat respon penolakan sebegitu kerasnya.
“Aku lebih menyedihkan, aku memendam perasaanku selama enam tahun!” jelasnya. Bukan bermaksud mengadu nasib, tapi itu satu-satunya cara untuk menenangkan Bu Sofie, membuatnya berpikir, kalau dirinya tak semenyedihkan itu.
“Hah?” pekik Sofie tak percaya, air matanya mendadak berhenti mengalir.