“Alan!” Liona tak berhenti menggigil, isakannya tersendat-sendat memenuhi koridor sunyi itu. Dia menjongkok lemas di lantai dingin depan pintu ruang operasi, wajahnya terkubur dalam pelukan kakinya sendiri. Setiap helaan napas terasa menyiksa, membawa bau anyir darah Alan yang masih melekat kuat di baju kuningnya, sekarang bernuansa merah tua dan hitam yang mengerikan.
Dany berdiri di sampingnya, matanya memancarkan kepedihan yang sama. Tangannya terulur, ingin menghibur, ingin setidaknya menyentuh bahu Liona yang terus gemetar. Tapi dia mengurungkan niatnya. Liona terlihat begitu rapuh, seolah sentuhan sekecil apapun akan membuatnya remuk.
Dua siluet seragam polisi mendekat dengan langkah tegas yang bergema di koridor. Seorang di antaranya, yang lebih tinggi, mengangkat sedikit topinya. "Selamat malam," suaranya rendah namun tegas, memecah kesunyian. "Apakah Anda Saudari Liona?"
Liona mengangkat wajahnya, Dany segera memegang kedua bahu Liona, membantunya berdiri. “Iya,” jawab Liona lemah.
“Bisa tolong ikut kami sebagai saksi?”
Liona menengok ke Dany yang mengangguk dengan mata teduhnya. “Iya,” sahutnya.
Polisi langsung membimbing langkahnya.
Seorang pria paruh baya mengenakan jas hitam dan dasi coklat berjalan ke arah mereka, di belakangnya Alice mengekor. Liona hanya membiarkan mereka lewat sambil lalu. Saat langkahnya sudah semakin jauh Liona mendengar Dany menyapa pria itu.
“Malam, Om! Alice.” Sapa Dany.
“Gimana keadaannya? Kok bisa gini?” tanya Alice.
“Dia kehilangan cukup banyak darah, tapi syukur sampai di rumah sakit cepat. Setelah selesai dijahit lukanya, seharusnya dia bisa ke kamar rawat inap,” jelas Dany pada Alice dan pada pria di hadapannya yang tak lain adalah Ayah Alan, Tomi Rahardian.
“Syukurlah,” ucap Tomi. “Polisi udah kesini?”
Dany mengangguk. “Asisten manager lagi di ikut polisi jadi saksi, aku boleh susul dulu om? Takut dia kebingungan sendirian.”
“Iya, iya, tentu. Biar kami yang jaga disini,” jawab Tomi sambil menepuk bahu Dany.
Dengan menunduk sopan, Dany pamit undur diri, melangkah buru-buru, menyusul Liona ke kantor polisi.
***
Liona duduk di anak tangga di depan kantor polisi. Rambutnya berantakan, penampilannya mengenaskan, dan ekspresi wajahnya kosong. Ia hanya menatap lurus ke aspal yang ada di bawah kakinya.
Tadi saat pemeriksaan polisi, Liona didudukkan di samping Anton. Ia tak menyangka kalau pria itu berkata ke polisi kalau dia tak mengenal Liona. Bahwa tindakannya murni karena mabuk, hingga menyerang asal orang yang ada di taman.
Mulut Liona juga kelu, dalam hati ia merasa bersyukur karena Anton tak mengakui dirinya sebagai anak di depan polisi. Pihak kepolisian pun tak menaruh curiga, karena bagaimanapun juga, mereka tak pernah punya riwayat keluarga. Ibunya dan pria itu, tak pernah menikah secara hukum, jadi pada dasarnya mereka tak terhubung di catatan manapun. Bahkan nama yang tercantum di dalam kartu keluarga dan akta lahir Liona, adalah nama sepupu jauh ibunya yang bersedia menikah dengan ibunya secara hukum, namun sudah meninggal setelah Liona lahir. Semua fakta itu baru Liona ketahui dua tahun lalu, saat dia mendengar percakapan saudara-saudara ibunya di acara arisan keluarga di kampung.
Ia menelan semua luka malu tak tertahankan itu sendirian, tak pernah berniat bertanya ke ibunya yang pasti punya luka lebih dalam lagi darinya. Ibunya susah payah membesarkannya sendirian. Liona tak pernah ingin membuat ibunya lebih merasa menyesal lagi telah membawanya lahir ke dunia dengan kesialan sebanyak ini. Tapi kejadian tadi, membuat Liona seperti menelan bulat-bulat pil pahit tentang fakta latar belakang dirinya.
“Ibu,” Liona memendam wajahnya di tangannya yang dilipat di atas lutut. “Kayaknya aku harus nyusul ke kampung.” Gumamnya, dengan air mata menetes.
“Lio?” panggil Dany.
Liona langsung mengangkat wajahnya dan menatap Dany yang berdiri di hadapannya. “Dany!” ucapnya sambil menangis, entah mengapa menatap wajah Dany, tangisnya tertumpah tak dapat di tahan lagi.
Dengan sigap Dany langsung duduk di samping Liona, merangkul bahunya sambil mengusap-usap punggung gadis itu dengan lembut. “Nggak apa-apa, tenang, nggak apa-apa.”
***
Dany mengatur nafasnya, di depan pintu kamar rawat inap Alan ia terlihat kebingungan, heran, sekaligus panik. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dan tak bisa melepaskan pandangannya dari Liona yang menunduk di hadapannya. “Kenapa?” tanya Dany pada akhirnya, “Kenapa lu mau ngundurin diri?”
Liona mengangkat wajahnya yang pucat dan lesu. Matanya sembab dan dikelilingi bayangan hitam kelelahan. Semalam ia tak bisa memejamkan mata, digerogoti rasa bersalah dan ketakutan yang tak terperi. Pagi ini, dengan sisa tenaga yang ada, ia bergegas ke rumah sakit, untuk mengungkap kebenaran yang mungkin menghancurkannya.