BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #17

17. Berdiri di Pinggir, Menyimpan Sepi

Liona memandang ponselnya yang terus bergetar dalam genggamannya. Getaran itu terasa seperti teguran yang tak henti-hentinya, mengingatkannya pada dunia yang berusaha dia tinggalkan. Dengan nafas berat, ia mematikan ponselnya dan menyimpannya kembali ke dalam saku jaket. Tangannya yang lain erat-erat mencengkeram tiang bus, seolah mencari pegangan bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Matanya, masih sembab dan berat, menatap kosong ke luar jendela. Jakarta macet seperti biasa, lautan kendaraan yang tak bergerak, seolah mencerminkan kebuntuan dalam dirinya.

Apakah kabur seperti ini tidak apa-apa?

Liona menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. Merasa seperti seorang pecundang yang sedang lari dari masalah, menyalahkan takdir, dan tenggelam dalam penyesalan yang dalam.

Dengan kaki lemas, ia turun dari bus. Panas terik menyambutnya, menghanguskan kulit dan membuat udara terasa berat. Suara klakson bersahutan, mesin kendaraan yang menderu, dan hiruk-pikuk kota memecah kesunyian, tapi justru itu yang ia butuhkan. Kebisingan ini lebih baik daripada kesunyian yang menyiksa di ruang rawat inap Alan kemarin. Di tengah kebisingan ini, setidaknya ia tidak sendirian dengan pikirannya.

Ia melintasi shelter bus dan menaiki tangga penyebrangan. Langkahnya berat, seolah setiap anak tangga adalah beban baru yang harus dipikul. Di atas jembatan penyeberangan, angin sesekali berhembus, tapi tidak cukup untuk meredakan panas yang menyengat. Ia berhenti sejenak, memandang lalu lintas di bawahnya, kendaraan yang terus bergerak meski lambat, kehidupan yang berjalan tanpa peduli pada kekacauan dalam dirinya.

Liona terus berjalan, menyusuri trotoar dengan tatapan hampa. Setiap langkah seperti menguras tenaga terakhirnya. Matahari siang yang terik seolah menyorotnya, membuatnya semakin merasa terpapar dan tak berdaya. Namun, dibalik semua itu, yang paling menyiksa adalah bayangan wajah Alan, wajahnya yang pucat, tubuhnya yang terluka, dan sambil merasakan perihnya bekas pisau yang menusuk perutnya. Itu adalah gambaran yang tak bisa hilang, terus mengikuti Liona seperti hantu yang tak mau beranjak.

“Kak!” teriak Dion dari depan gerbang rumah Alan.

Liona menyipitkan mata, ia bahkan tak sadar kalau sudah berjalan sampai ke dalam blok perumahan Alan. Ia melihat Dion melompat-lompat dan melambaikan tangan ke arahnya.

Mungkin Dion memang terlahir untuk menghibur, pikir Liona. Anak itu selalu muncul disaat Liona terlalu lelah menghadapi dunia. Ketika melihat senyum Dion, ia seakan punya secercah semangat baru untuk melanjutkan hidup, ia mempercepat langkahnya dan mendekat ke pria yang dimatanya selalu seperti anak kecil itu.  “Lagi apa kamu di sini?”

Nyengir kuda, Dion memegang kedua tangan Liona. “Aku kangen sama kakakku!”

Liona tertawa pelan menarik tangannya dari Dion. “Kamu senang banget kayaknya!”

Dion nyengir lebih lebar, “Aku sekarang punya pacar!”

“Oh, ya? Akhirnya!” Liona menjabat tangannya. Perih di tubuhnya terasa sedikit berkurang karena turut bahagia untuk Dion. “Kenalin sama aku!” tapi selesai mengucap mata langsung mendelik, teringat dengan sesuatu.

“Ah, Dion. Gimana kalau lanjutin ngobrolnya besok lagi? Sekarang aku lagi buru-buru. Sorry!” ucap Liona tak enak hati.

Dion mengerling heran, tapi meski begitu ia langsung mengangguk. “Kalau gitu besok aku ke sini lagi ya?”

“Jangan!” cegah Liona buru-buru. “Nanti aku hubungin lagi.”

“Kenapa, karena Kak Alan gak ngebolehin ya?” Wajah Dion menekuk.

Mata Liona melebar heran. “Kamu kenal Alan?” Dia paham kalau Dion sempat bertemu dengan Alan saat menitipkan bunga untuknya, tapi kenapa Dion bisa bicara seperti itu, seakan-akan dia mengenal Alan lebih dari sekedar orang yang bertukar sapa. Dan kenapa juga dugaannya bisa sampai kesana?

“Duh, dia galak banget!” Dion bergidik. “Dia langsung menyerbu dengan pertanyaan, Lu siapa? Ngapain kesini? Siapa yang ngasih izin lu kesini? Urusan apa lu sama Liona?” Dion memperagakan bagaimana Alan menatapnya dengan mata menyipit dan sudut bibir yang sedikit terangkat sinis. Suaranya dalam, berisi, dan setiap kata diucapkan dengan tekanan yang jelas, seperti palu yang memukul paku, menusuk tepat di ruang personal. Cara berdiri Alan pun tegak, dengan postur tubuh yang sedikit condong ke depan, seolah siap menghalangi siapapun yang mendekati zona yang ia jaga.

Lihat selengkapnya