BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #18

18. Yang Terjadi Dulu

3 Tahun Lalu…


Untuk Alan, basket bagaikan oksigen yang mengalirkan kehidupan ke dalam dunianya yang cenderung tertutup. Tanpa basket, hari-harinya mungkin hanya akan dihabiskan di dalam kamar, terisolasi dari dunia luar. Ia bukanlah tipe orang yang mudah bergaul, bahkan memulai percakapan sederhana pun kerap terasa seperti mendaki gunung baginya, baik dengan orang asing maupun dengan mereka yang sudah dikenalnya sekalipun.

Namun, di lapangan basket, segalanya berubah.

Di sana, ia tidak perlu memaksakan kata-kata. Tubuhnya yang bergerak lincah mengikuti alur permainan menjadi bahasanya yang paling jujur. Setiap dribble, umpan, dan tembakan adalah cara ia berbicara. Setiap langkah adalah kalimat, setiap lompatan adalah ekspresi. Dalam permainan, obrolan singkat tercipta secara alami, bukan tentang cuaca atau kabar, tetapi tentang strategi, pergerakan, dan momen kebersamaan yang pendek namun bermakna.

Kontak fisik dengan lawan, yang mungkin dihindari banyak orang, justru memacu adrenalinnya. Dorongan bahu, perebutan bola, dan desakan tubuh ke ring lawan, semua itu membangkitkan energi positif yang jarang ia rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Di lapangan, ia merasa hidup, hadir sepenuhnya, dan untuk sesaat, lupa bahwa dirinya sering kali merasa menjadi orang asing di tengah keramaian.

Basket juga memberinya sesuatu yang langka, yang tak ia dapat di rumah: perhatian. Saat bola meluncur dari tangannya dan masuk ke dalam ring, ia mendengar sorak pendukungnya. Saat ia gagal, ia mendengar kekecewaan mereka. Baginya, semua respons itu berharga. Itu adalah cara orang lain menyentuh dunianya tanpa harus ia ajak bicara panjang lebar. Ia merasa dilihat, diakui, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun.

Dalam basket, Alan menemukan bukan hanya sekedar olahraga, melainkan sebuah ruang di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang yang penyendiri, tetapi penuh arti. Sebuah tempat di mana ia tak perlu bersembunyi, karena di atas lapangan, setiap langkah dan geraknya telah berbicara lebih keras daripada kata-kata.


Pagi ini matahari bahkan belum terbit saat ia sampai di sekolah dan duduk di pinggir lapangan basket, tak bisa membendung hasratnya untuk kembali bertanding, selama liburan akhir semester kemarin. Rasanya otot-otot tubuhnya kaku karena tak bertanding tiap pagi di sekolah.

Kegiatan di klub basketnya juga akhir-akhir ini dipaksa dibatasi oleh Ayahnya, karena dia harus fokus untuk persiapan ujian akhir. Jadi sekolah, terbilang satu-satunya tempat dimana dia bisa melepas kerinduan dengan benda bulat oranye itu.

Semalam ia mengirimkan pesan ke semua anggota klub basketnya di sekolah. "Pagi ini kita tanding, yang kalah traktir!"

Sejam kemudian tak perlu di tanya lagi, para siswi sudah berkumpul di pinggir lapangan. Menjerit histeris saat Dany melempar bola basket ke arahnya dan ia berhasil menangkapnya lalu melemparkannya masuk ke dalam ring. Alan tersenyum, sambil ber high five dengan Dany yang melompat kegirangan karena sepertinya akan dapat traktiran makan siang di kantin nanti.

“Lan, Alice datang!” ujar Dany.

Alan menoleh ke arah gadis yang lebih tinggi daripada kebanyakan siswi di sekitarnya itu. Hubungan mereka berdua memang rumit, tapi sekaligus sederhana, bisa dibilang di antara suka dan benci. Satu-satunya orang di sekolah yang tahu tentang hubungan mereka hanyalah Dany, yang juga merupakan satu-satunya orang yang Alan anggap sebagai teman.

Hanya dengan sekali lirikan, Alan sudah menangkap tatapan menyipit yang Alice lemparkan padanya, seperti seorang penagih hutang yang siap mengutuk jika tidak segera dibayar. Dengan nafas berat, Alan pun bersiap memberi apa yang Alice inginkan: ia menengok dan menyapanya di tengah keramaian, di hadapan semua orang yang memandang mereka.

Dia lalu melambai ke arah Alice, menyunggingkan senyum palsu yang harus terlihat tulus. Menyapanya hingga gadis itu merasa mendapat semua perhatian yang diinginkannya dari penonton di pinggir lapangan.

Tapi sesuatu yang aneh terjadi. Justru gadis berperawakan mungil di sebelah Alice yang melambai balik sambil berseru menyebut namanya.

“Ah, dia pasti salah sangka,” gumam Alan dalam hati, segera menurunkan tangannya. Ia kembali memantulkan bola dan melangkah maju.

Saat hendak mengoper bola ke Dany, Alan melihat temannya itu tampak tidak fokus. Awalnya ia mengira Dany sedang melihat ke arah Alice, tetapi kemudian Dany justru mengangkat tangan dan melambai, memanggil nama yang asing di telinga Alan.

“Liona!”

Alan memicingkan matanya, rasa heran mengusik pikirannya. Dany tak pernah menunjukkan ketertarikan khusus pada siswi manapun. Memang, temannya itu supel dan ramah pada semua orang, tapi tak pernah sampai se-terang-terangan ini. Kenapa? pikir Alan. Kenapa dia tiba-tiba memberikan perhatian pada gadis itu? Apa dia sedang berusaha membantu? Agar gadis yang tadi salah sangka itu tidak terlalu malu?

Lihat selengkapnya