Waktu Andin bilang, “Kerja aja kayak biasa,” dan Dany bilang, “Yang udah berlalu gak usah dipikirin lagi, sekarang fokus kerja aja,” Liona benar-benar menganggap mereka berdua tidak waras. Bagaimana mungkin? Dunia ini seperti terus berputar tanpa peduli pada gempa bumi yang baru saja mengguncang hidupnya.
Pertama, ada rasa malu yang membara. Cintanya yang selama ini ia pendam dalam-dalam, yang ia kira adalah rahasia paling terlindungi, ternyata sudah diketahui Alan entah sejak kapan. Dan yang lebih menyakitkan, Alan dengan entengnya menyatakan bahwa Liona pasti tidak akan bisa melupakannya. Seolah-olah Alan bisa membaca isi hatinya dengan mudah, seolah-olah perasaan Liona adalah buku terbuka yang bisa dibaca sembarangan. Yang paling menyebalkan? Keyakinan Alan itu ternyata benar. Liona memang masih terikat pada perasaan itu, seperti mobil yang terperosok di lumpur, semakin berusaha keluar, semakin dalam tenggelam.
Kedua, setelah insiden penusukan yang hampir merenggut nyawa Alan. Alan tahu segalanya, tentang Anton sebagai ayah kandungnya, tentang rasa malu yang membuatnya ingin mengundurkan diri. Tapi alih-alih memberi pengertian, Alan justru mengatakannya dengan dingin kalau dirinya tidak boleh mengundurkan diri. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya sesuai kontrak. Seolah kontrak itu lebih penting dari rasa malu yang ia tanggung.
“Siapa yang bisa bekerja biasa setelah kejadian seperti itu?” pikir Liona kala itu.
Namun hari-hari berikutnya membuktikan bahwa dunia memang tidak berhenti berputar. Bahwa Andin dan Dany mungkin benar. Alan tetap dingin dan acuh seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi. Dany, yang mengalihkan fokusnya ke kuliahnya sementara Alan fokus pada pemulihan, masih sesekali datang mengecek keadaan Alan, lalu pergi lagi. Semua berjalan normal, terlalu normal, sehingga Liona justru merasa seperti orang gila yang diizinkan berkeliaran di tengah mereka semua yang waras.
Hanya dia yang masih terjebak dalam gempa itu. Hanya dia yang setiap hari berjalan dengan perasaan linglung, sementara orang-orang di sekitarnya bergerak dalam irama yang tetap teratur, seolah tidak ada yang berubah. Hanya dia sendiri, yang berdampak pada semua kejadian itu. Padahal luka di perut Alan nyata, padahal ayah kandungnya di dalam penjara, tapi kenapa semua berlalu seperti hanya sekedar mimpi buruk tak berarti dan terlupakan ketika bangun?
Hari ini, gaji pertamanya sebagai asisten manajer Alan masuk ke rekeningnya. Utuh, tanpa satu potongan pun. Liona sempat bersiap diri, ia bahkan sudah menghitung estimasi biaya sewa kamar yang mungkin akan dipotong langsung. Tapi ternyata, tidak ada.
Ketika Liona memberanikan diri menanyakan berapa biaya sewa yang harus ia bayar, Alan malah menyeringai dingin.
“Lu kira gue butuh duit lu?”
Kalimat itu diucapkan dengan nada merendahkan. Seakan memaksa Liona untuk tersadar kalau uangnya yang ia miliki bagi Alan terlalu kecil.
Lalu, dengan sisa keberanian yang ada, ia mengungkapkan keinginannya untuk kembali tinggal di rumahnya.
“Orang itu, sekarang sudah di penjara. Jadi aku sudah bisa balik,” ujarnya, hati berdebar menunggu respons Alan.
Tapi yang ia dapatkan justru lebih membingungkan.
Alan meliriknya tajam, matanya menyipit seperti menangkap sesuatu yang tidak pas.
“Jadi lu nggak mau tanggung jawab ngurusin gue, padahal gue luka gara-gara lu?” katanya.
Sekarang, di kafe dekat toko roti tempatnya dulu bekerja, Liona menggaruk-garuk kepalanya kasar dengan kedua tangan. Frustasi. Sangat frustasi.
Apa sih yang sebenarnya Alan mau?
Di satu sisi, Alan bersikap seolah tidak peduli, tidak butuh uang sewa, tidak butuh bantuan, bahkan menganggap lukanya bukan hal serius. Tapi disisi lain, ia menggunakan alasan “luka karena Liona” untuk membuatnya tetap tinggal, tetap bekerja, tetap berada di sekitar Alan.
Liona tidak mengerti.
Jika Alan benar-benar tidak peduli padanya, mengapa ia tidak melepasnya begitu saja? Jika lukanya bukan masalah, mengapa ia menjadikannya alat untuk mengikat Liona? Dan yang paling membingungkan, mengapa Alan mempertahankannya untuk tetap dekat, masih terus menunjukkan sikap acuh dan dingin?
Dion belum juga datang. Tapi yang ada di pikiran Liona bukanlah pertemuan ini, melainkan Alan, pria yang seperti teka-teki tak berujung, yang setiap kali ia kira sudah bisa dia eja untuk dicoba dibaca, justru membuatnya semakin rabun atau malah seperti buta huruf.
“Kak!” sapa Dion, aura sumringah seperti tak pernah pergi dari wajah cowok ini.
Liona langsung mengangkat pandangannya dan melemparkan ke sekeliling. “Sendiri?”
Dengan bibir menekuk ke bawah Dion duduk di hadapannya. “Pacar aku kerja,”
“Loh?” Mata Liona membulat heran, “Terus kenapa kamu ngajakin ketemu hari ini? Katanya mau ngenalin pacar kamu, kan?”
Dion bergeleng, “Tadinya, tapi dia gak jadi cuti. Ah tau ah udah sebel!” Ia mengalihkan pandangannya ke buku menu yang tergeletak di atas meja.
“Yaudah,” Liona menyunggingkan senyum menenangkan. “Pesen makanan apa aja, aku yang bayar!”