Selesai mandi, Liona langsung menuju meja makan. Alan sudah duduk di sana, tengah asyik membaca artikel di tablet, berita yang menampilkan wajahnya sendiri. Bi Darti telah menyiapkan makan siang dengan hidangan yang menggugah selera, semangkuk sayur lodeh, ayam goreng garing, dan tempe bacem yang harum. Ini salah satu alasan Liona betah tinggal di sini, rasa masakan Bi Darti yang nyaris sempurna menyerupai masakan ibunya, menghangatkan kerinduannya yang tak pernah benar-benar padam.
Sampai saat ini dia belum mengabarkan ke ibunya tentang kejadian dengan Anton waktu itu. Ia rindu ibunya, ia ingin tinggal berdua lagi di rumah, tapi jika untuk melakukan hal itu harus membuat ibunya merasa bersalah dan sedih, Liona memilih untuk tetap memendam fakta itu sendiri, sampai kapanpun juga.
Dengan langkah kikuk, ia segera duduk di kursi biasa di seberang Alan. Pikirannya masih berantakan sejak membayangkan kejadian kemarin, bayangan Alan meninggalkan dirinya yang ketiduran di sofa. Matanya curi-curi memandang Alan, dan saat tertangkap basah, ia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura terpesona oleh kuah lodeh yang masih mengepul. Bibirnya digigitnya dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
Sepanjang makan, Alan hanya diam. Orang ini seolah punya sertifikat profesional dalam bersikap dingin, pikir Liona. Bagaimana mungkin dia bisa tetap sesantai ini setelah semua yang terjadi? Liona menyuap sayur lodeh dengan gugup, dan saat Alan tiba-tiba meliriknya, ia langsung tersedak. Tertangkap lagi.
Sementara Liona sibuk terbatuk-batuk dan meneguk air, Alan tetap tenang menyantap makanannya, tak kelihatan peduli.
Setelah nafasnya kembali normal, Liona memberanikan diri membuka percakapan. "Luka kamu gimana udah mendingan?" tanyanya, suara masih serak.
"Udah gak terasa," jawab Alan singkat, tanpa mengalihkan perhatian dari paha ayam yang disantapnya.
Liona mengangguk canggung, kehabisan ide untuk melanjutkan obrolan. Ia kembali meneguk air, dan tiba-tiba, dering ponselnya yang nyaring memecah kesunyian. Alan langsung menyeringai kesal. Ia memang tak pernah suka dengan dering ponsel Liona yang berisik, sebelumnya suara anak kucing menangis, sekarang terompet tukang roti keliling.
"Cepat angkat teleponnya, berisik!" tegur Alan dengan nada kesal.
Liona merogoh saku celananya, bangkit, dan menerima telepon sambil berjalan menjauh. Alan diam-diam menyipitkan mata, berusaha menangkap potongan percakapan, namun telepon itu berakhir terlalu singkat. Tak sampai semenit, Liona sudah kembali.
"Dany?" tanya Alan, pura-pura sibuk dengan nasi di mangkuknya.
"Em?" Liona terkejut, lalu buru-buru mengangguk ragu. "Em." Ia meneguk air lagi, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Hari ini belum ada jadwal, kan?" tanyanya lagi.
Alan hanya melemparkan tatapan dingin yang dengan jelas berarti, "Kalau iya kenapa?"
Liona menggigit bibirnya, suara hampir bergetar. "Aku ada janji. Karena hari ini gak ada jadwal, aku izin keluar sebentar. Kalau kamu butuh sesuatu, telepon aja." Ia langsung beranjak dari kursi.
Alan memandangi Liona yang bergegas menaiki tangga. Begitu gadis itu tak terlihat lagi, matanya beralih ke piring dan gelas kosong di depannya. Biasanya Liona merapikan meja sebelum pergi, kali ini tidak. "Sebegitu buru-burunya mau ketemu Dany?" gumamnya sinis sambil meneguk air.
Tak berapa lama, Liona melesat turun dari tangga dengan langkah terburu-buru, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya. Biasanya dia selalu pakai celana jeans dan kaos oblong atau kemeja, tapi kali ini, dia pakai sebuah dress bunga berwarna biru tua yang lembut melingkari tubuhnya, jatuh hingga sedikit di atas lutut. Potongan dress itu sederhana namun manis, memperlihatkan tulang selangkanya, membuatnya terlihat lebih feminin. Rambutnya yang biasanya diikat sembarangan kini dibiarkan terurai alami, berayun mengikuti setiap langkahnya.
Dari balik rak sepatu, ia mengambil sepasang flat shoes berwarna krem yang cocok dengan dressnya, hal praktis yang masih memungkinkannya berjalan cepat. Saat mensejajarkan diri dengan sofa tempat Alan duduk, Liona melirik sekilas. Alan terpaku pada acara golf di televisi, wajahnya netral seperti biasa, seolah dunia di sekitarnya tidak ada.
Dia berhenti sebentar, menarik napas halus. "Aku pergi dulu," ujarnya pendek, sambil menganggukkan kepala cepat ke arah Alan, hampir seperti gestur formal yang dipaksakan.
Alan tidak menoleh, tapi matanya bergerak hampir tak kasat mata, melirik sebentar ke arahnya, menangkap siluet dress biru tua yang kontras dengan latar belakang ruangan yang monoton warna kayu. Tangannya yang memegang remote sedikit mengencang, tapi tak ada kata yang terucap.
Pintu tertutup perlahan.
Dan untuk beberapa detik, Alan tetap terdiam, tatapannya masih pada layar televisi, tapi pikirannya sudah tidak lagi pada golf.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, terdengar pintu terbuka lagi. Alan menyunggingkan senyum miring, “Dasar ceroboh!” gumamnya, berpikir pasti Liona balik lagi karena tertinggal sesuatu. Tapi begitu ia menengok, yang ditemukan justru sosok Dany.
“Eh kenapa lu gak masukkin mobil lu ke garasi? Gue jadi parkir di depan pager.” Suara Dany memenuhi ruangan.
Bukannya menyahut, mata Alan malah sibuk menyapu ke sekeliling Dany.
Dany reflek ikut menebar pandangan ke sekelilingnya, “Lu cari apa?” tanyanya bingung.
“Mana Liona?” tanya Alan, belum menatap wajah Dany.
Dany mengernyit, “Emangnya dia gak di rumah? Gue datang ke sini mau ketemu dia.”