BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #21

21. Harapan Palsu Bertahan Bagai Kutu

Pertanyaan Andin itu masih terus bergema di kepala Liona, bahkan setelah berjam-jam berlalu. Sebenarnya, ia kerap menggugat dirinya sendiri dengan pertanyaan yang sama selama enam tahun terakhir, namun kali ini terasa paling menyakitkan. Bukan karena Andin yang meluncurkannya, melainkan karena saat ia menengok kembali segala yang telah terjadi, dan menyadari betapa segala sesuatunya kini telah berubah.

Dulu, ia tak bisa menyerah karena Alan belum mengetahui perasaannya, karena ia yakin Alan belum benar-benar mengenalnya, dan karena pria itu belum menyadari seberapa besar kesungguhan hatinya.

Namun sekarang, segalanya sudah berbeda. Lalu, alasan apa lagi yang tersisa untuk mempertahankan perasaannya? Hanya ‘perasaan’ itu sendiri, satu-satunya alasan yang terasa lemah dan justru lebih mendekati siksaan daripada kebahagiaan.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Liona memutuskan untuk melawan hatinya sendiri. Ia mengabaikan janji yang selama ini dipegangnya, janji untuk tetap setia pada perasaan yang tak pernah berbalas.

Ia mengikuti ajakan Andin untuk mengikuti kencan buta berkelompok. Bersama sahabatnya itu, ia bertemu dua pria asing yang diperkenalkan oleh teman kampus Andin. Awalnya, penyesalan menyergapnya. Ia bahkan berbohong kepada Alan dengan mengatakan bahwa yang meneleponnya sebelumnya adalah Dany. Namun, setelah Andin berkata, “Sampai kapan lu mau terjebak sama perasaan lu ke Alan?” Liona memutuskan untuk mulai belajar melepaskan, berdamai dengan ketidakmampuannya sendiri.

Sampai kapan ia akan terus meratapi nasib? Menyalahkan takdir, padahal segala yang terjadi adalah konsekuensi dari pilihannya sendiri.

Dengan pikiran yang masih berbelit, ia memilih untuk kembali ke rumahnya sendiri malam ini, tidak pulang ke rumah Alan. Ingin rehat dari pria itu, barangkali bisa menjernihkan pikirannya yang keruh.

Tapi di sela-sela itu, secerah harapannya masih menyala, mungkin Alan akan menelepon menanyakan kenapa dia tak pulang, mungkin masih ada harapan yang berpegangan erat bahwa pria itu peduli padanya. Namun, ketika jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, saat ia telah terbaring dua jam di kamarnya, yang muncul di layar ponselnya justru panggilan dari Dany.

“Lu di mana?” tanya Dany tanpa basa-basi segera setelah Liona mengangkat telepon.

“Di rumah gue,” sahut Liona dengan suara lesu.

Dany terdiam sejenak. Suara latar yang samar terdengar, sepertinya ia sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Kenapa?” tanya Liona lagi, mencoba menutupi rasa penasarannya.

“Nggak apa-apa. Motor lu ada di rumah Alan. Lu naik apa tadi?”

Pandangan Liona terfokus tajam, pikirannya langsung bekerja menarik kesimpulan. Dany ada di rumah Alan? Artinya, besar kemungkinan Alan sudah tahu bahwa sebelumnya ia berbohong, bahwa yang menelepon tadi bukanlah Dany.

Tapi, terus kenapa? batinnya membentak. Apa memang ada dampaknya? Toh tidak juga, kan?

“Sama Andin. Lu kenal Andin, kan?” jawab Liona akhirnya, memutuskan untuk tak lagi ambil pusing.

“Oh, lu pergi sama Andin,” suara Dany terdengar lebih ringan, seperti melepas napas lega.

“Iya. Kencan buta,” tambah Liona datar, tanpa emosi.

“HA?!” pekik Dany di seberang sana, begitu keras sampai membuat telinga Liona berdengung. Liona menjauhkan ponselnya sejenak sebelum kembali menempelkannya ke telinga.

“Kencan buta?” Dany mengulangi, nada suaranya masih tinggi dan tak percaya.

“Em,” balas Liona sambil menggaruk pipinya, bingung dengan reaksi berlebihan Dany.

Dany terdengar berdehem, seolah mencoba menormalkan kembali suaranya. “Yaudah, besok gue jemput ke sini, ya.”

“Em,” angguk Liona lagi, masih mencerna apa yang baru saja terjadi.

Setelah mematikan telepon, Dany menurunkan ponselnya perlahan. Matanya menerawang ke arah televisi yang menampilkan siaran ulang pertandingan liga eropa selama beberapa detik, sebelum akhirnya beralih ke Alan, yang sejak tadi terdiam bak patung, padahal telinganya pasti mendengar semua percakapan yang terjadi di telepon.

Beberapa saat, Dany menimbang-nimbang. Setelah mendengar ucapan Liona tadi, dia yakin dengan perasaannya. “Alan,” panggilnya, Alan tak menoleh. “Gue tanya sekali lagi, lu suka Liona apa nggak?”

Bukan hanya Dany, hari ini Alan juga merasakan ketegangan asing yang terasa menyebar di antara mereka berdua. Dany memang melemparkan pertanyaan yang sama, pertanyaan yang sudah ia ulang berkali-kali, tapi kali ini, ada yang berbeda. Penekanannya, nada suaranya, caranya menatap, semua menunjukkan jawaban yang Dany cari dengan bukan lagi untuk Alan, melainkan untuk dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya