Dany benar-benar menunjukkan kesungguhan dari perkataannya kemarin. Ia tak segan mengkonfrontasi Alan secara langsung. Bahkan, dengan harga diri tinggi dan kharisma yang ia miliki, ia sempat berlutut di depan Liona hanya untuk membantu mengikat tali sepatu yang terlepas, sebuah gestur yang membuat Liona nyaris tersedak rasa kikuk dan terkejut.
Ia juga dengan ringan membawakan tas berat Alan yang biasanya dijinjing Liona dengan susah payah, bahkan membukakan pintu mobil untuknya, hal yang belum pernah ia lakukan bahkan untuk Alan sendiri, bahkan di acara paling formal sekalipun.
Alan duduk di kursi belakang, di pojok kiri seperti biasa. Namun kali ini, matanya tidak mengalih pandang. Ia terus mengamati interaksi yang terjadi di baris depan, seolah dua orang itu tak memedulikan kehadirannya sama sekali. Antara muak, kesal, dan penasaran sejauh apa mereka berdua bisa benar-benar membuatnya kesal.
“Nanti makan siang di sushi dekat tempat latihan, gimana?” tanya Dany kepada Liona yang sibuk menyeruput teh susunya.
“Em,” Liona mengangguk, sementara di dalam hatinya, rencana licik mulai disusun.
Entah benar atau tidak Dany menyukainya, yang jelas “konfrontasi” dari pria lain ini jadi cara yang belum pernah ia coba untuk menguji perasaan Alan. Sekaligus, membuktikan ucapannya pada Alan malam itu, bahwa ia sudah tidak lagi menyukainya seperti dulu. Ia ingin menunjukkan bahwa masih ada pria lain yang bisa menarik perhatiannya.
Jika berhasil, mungkin Alan akhirnya akan menunjukkan perhatian. Jika gagal, setidaknya ia bisa bersembunyi di balik “ketertarikan palsu” pada Dany, membuat Alan percaya bahwa ia sudah move on. Apapun hasilnya, situasi ini menguntungkan baginya.
Liona melirik ke arah Dany, yang sedang kesulitan membuka bungkus permen tanpa bisa melepas kemudi.
“Sini,” ia mengulurkan tangan, “gue bukain.”
“Em, thank you!” sahut Dany sambil menyerahkan permen mint itu.
Alis Liona berkedut. Sebuah ide nakal muncul di benaknya. Setelah berhasil membuka bungkus permen, ia tidak menyerahkannya ke tangan Dany, tetapi justru mengulurkan tangannya lebih jauh, mendekatkannya ke mulut Dany.
Dany menoleh sebentar, seolah memastikan bahwa yang dilihatnya tidak salah. Lalu ia tersenyum, membuka mulutnya, dan sedikit menunduk, menyantap permen dari tangan Liona.
“Thanks!” ucapnya lagi, sebelum kembali fokus menyetir sambil mengemut permennya.
Liona menoleh ke arah Alan, “Mau juga?” tawarnya, sambil menggoyang-goyangkan permen lain yang masih dibungkus.
Seperti biasa, Alan hanya melemparkan pandangan dingin. Ekspresinya datar, tak terbaca, seolah tak ada yang bisa mengintip isi pikirannya.
“Ch,” Liona mencibir terang-terangan. “Nggak mau ya udah,” gumamnya, lalu kembali menghadap ke depan.
Tapi dibalik sikapnya yang acuh, Alan mengeratkan genggamannya di ponsel. Ia memalingkan wajah ke jendela, dan untuk pertama kalinya, merasakan sesuatu yang menusuk, dan sama sekali tidak menyenangkan.
Sesampainya di gedung Turquoise, Alan langsung disambut riuh oleh teman-teman setimnya. Seminggu lebih absen latihan, ketiadaan kapten mereka ternyata cukup terasa dalam dinamika tim. Suasana yang biasanya terfokus dan terarah, terasa sedikit goyah tanpa kehadiran Alan. Meski paham kalau kapten mereka sedang rehat, tapi tak bisa dibohongi kalau hari ini adalah yang mereka tunggu-tunggu.
“Aduh, ada Liona!” seru Jeremy begitu melepas pelukan dari Alan. Dengan semangat, ia merentangkan tangan lebar-lebar dan bermaksud menepuk bahu Liona, gestur akrab yang biasa ia lakukan pada siapa pun. Apalagi gadis manis.
Namun, sebelum tangannya sampai, Dany tiba-tiba maju selangkah dengan gesit. Tubuhnya menghalangi gerakan Jeremy, dan alih-alih membiarkannya mendekati Liona, Dany justru menyambar Jeremy dalam pelukan erat yang tak terduga.
“Eh ada Jeremy, kangen ya?” ujar Dany sambil memeluknya begitu kuat, sampai-sampai Jeremy, yang posturnya lebih tinggi, terbatuk-batuk dan memukul-mukul bahu Dany tanda kekurangan udara.
“Udah, udah, lepasin!” erang Jeremy setengah tertawa setengah tersedak, sementara Dany baru melepaskannya setelah yakin bahwa perhatian Jeremy sepenuhnya telah dialihkan dari Liona.
Di belakang mereka, Liona hanya bisa nyengir kuda, wajahnya sedikit memerah karena malu, atau mungkin karena sesuatu yang lain: tatapan Alan.
Sebulan setengah bekerja dengan Alan, dia mulai bisa menangkap perubahan halus dalam ekspresi cowok itu. Di balik gelagatnya yang biasa-biasa saja, Alan sebenarnya sedang mengamati dengan sengit. Wajahnya tetap seperti patung, tidak ada gerakan otot yang berlebihan, tidak ada alis yang terangkat, tidak ada kedipan mata yang cepat. Tapi jika lebih jeli, ada sesuatu yang berbeda.
Rahangnya sedikit mengeras, garisnya menjadi lebih tajam dibawah pencahayaan lapangan. Bibirnya yang biasanya terkatup longgar, kini terkunci rapat, membentuk garis lurus yang hampir tak terlihat. Matanya, biasanya hanya mengamati dengan acuh, kini menyipit lebih dalam, seperti elang yang mengincar mangsanya dari ketinggian. Sorot matanya tidak lagi sekadar mengawasi, tetapi menelusuri setiap gerakan Dany dengan intensitas yang hampir mengancam.
Dia tidak menggerakkan kepala, tidak mengubah posisi tubuh, tapi energinya berubah. Udara di sekitarnya terasa lebih padat, lebih dingin. Seolah-olah dia bisa membekukan setiap senyum dan tawa yang terjadi di depannya tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.
Perasaan Liona mulai membumbung tinggi, apakah siasatnya berhasil?
Sementara Jeremy, ketika berbalik menjauhi Dany dan menangkap pandangan Alan, dia langsung merasakan hawa tajam yang memancar dari kaptennya itu. Bukan marah yang meledak, tapi sesuatu yang lebih berbahaya: kedinginan yang disengaja, peringatan yang tak terucap. Seperti ketika cowok itu merasa salah satu anggota tim lawan bertindak curang atau kurang ajar di pertandingan, tapi tak tertangkap oleh wasit, dan diam-diam dia sudah merancang pembalasan mematikan untuk orang itu. Jika Alan memancarkan tatapan itu, siap-siap saja menunggu waktu, orang yang ditatap akan menyesal pernah berhadapan dengan Alan dalam hidupnya.
Jeremy tersenyum dalam hati. Ini bukan sekadar latihan biasa, ini akan menarik. Dia jadi semakin ingin mendekati Liona, mencari tahu apa yang ada di gadis itu.