Begitu penjelasan singkat dari Liona terputus di telepon, Andin langsung menyambar tasnya dan melesat meninggalkan kampus. Dadanya sesak oleh desis amarah yang bahkan lebih menyengat daripada yang dirasakan Liona, sang korban utama dalam ‘penipuan’ ini.
Sekarang mereka duduk berhadapan di ruang tamu Liona. Sunyi yang menggantung di udara terasa berat, diselingi hanya oleh deru kendaraan dari jauh dan detak jam dinding yang berdetak lamban, seolah mengukur setiap kebingungan yang mereka rasakan.
“Dany, yang ngasih tau gue,” ucap Andin, suaranya rendah namun penuh tekanan, seakan setiap kata dibentuk dari rasa frustrasinya. “Hari itu gue lagi ketemu Kak Sofie di kantornya, terus dia muncul. Dia yang nawarin kerjaan itu.”
Liona memandangi Andin, matanya menyipit seakan mencoba menembus kabut tebal yang menyelubungi pikirannya. “Terus, kenapa gue justru ketemunya sama Bu Sofie?” gumannya pelan, lebih kepada dirinya sendiri, sambil jarinya tak sadar terus mengetuk pahanya sendiri. Ia seperti seseorang yang mencoba memetakan labirin gelap tanpa adanya penerangan.
Sorot mata Andin menyala, menangkap gelora keingintahuan yang sama. “Karena Alan, bagaimanapun, ada di bawah naungan manajemen mereka. Kontrak itu segel dan stempelnya pun milik mereka.”
Liona menarik napas dalam, mencari sebuah pegangan di tengah pusaran kebingungan yang nyaris membuatnya limbung. Suaranya lirih, hampir seperti bisikan, “Jadi, menurut lu, siapa yang sebenarnya bohongin gue? Alan, Dany, atau justru Bu Sofie?”
Andin tak langsung menyahut. Ia menatap lebih dalam, menelisik setiap garis keraguan dan bayang-bayang kecemasan di wajah Liona. Ia menyadari sesuatu yang berbeda. Di balik kebingungan itu, ia tidak melihat kemarahan mentah yang ia rasakan sendiri. Yang ia tangkap adalah sebuah kekhawatiran yang lebih dalam, lebih personal, nampak Liona memang punya pertimbangan sendiri tentang masalah ini.
“Sebenernya…” ujar Andin akhirnya, suaranya lebih lembut, mencoba menembus dinding yang ia rasa ada di depan Liona. “Apa sih yang lagi lu pikirkan? Gue ngerasanya ini bukan cuma soal lu kesal sama Dany atau Alan kalau mereka berbohong. Ada sesuatu yang lain yang jadi concern lu kan? Bukan masalah kerjaannya?”
Liona enggan mengakui, tapi tusukan pertanyaan Andin itu tepat membidik pusar kegelisahannya. Sepanjang perjalanan pulang, setelah teleponnya dengan Andin usai, dan bahkan saat ia menunggu di ruang tamu yang sunyi, yang paling mengusik pikirannya bukanlah soal kontrak atau pekerjaan. Melainkan satu hal yang lebih dalam dan personal: Perasaan.
Bagaimana sebenarnya perasaan Dany dan Alan terhadapnya? Dany selalu terlihat tulus, matanya memancarkan kehangatan yang sulit disangkal. Lalu, mengapa dia dan Alan, atau salah satu dari mereka, membawanya kembali ke dalam kehidupan mereka dengan cara yang dipenuhi kebohongan? Apakah Dany melakukannya karena ketertarikan padanya? Tapi untuk apa berbohong? Tanpa kebohongan pun, Liona mungkin akan menerima tawaran itu.
Yang lebih mengganjal: apakah Dany tahu tentang perasaan Liona pada Alan yang tersimpan sejak dulu? Jangan-jangan ini semua adalah skenario mereka berdua untuk menjadikannya badut penghibur? Atau mungkin, Alan sama sekali tidak tahu menahu?
Di tengah pusaran pikiran itu, satu pertanyaan terus mengiang: dari kedua pria itu, siapa yang memiliki perasaan yang paling jujur padanya? Entah itu suka, atau bahkan benci.
“Lu masih mikirin itu?” tangkap Andin setelah Liona mencoba meraba-raba menyusun kata. Suaranya membuat Liona terhenyak dari lamunannya. Andin memandangnya dengan tajam, seolah bisa membaca setiap palung di jiwa Liona. “Mengesampingkan Dany yang mungkin punya perasaan sama lu, yang gue yakin bukan itu yang bikin lu sesesak ini.” Ia menyela dirinya sendiri, “Yang lu lebih pikirin pasti Alan, kan? Lu masih belum bisa lepas dari dia? Setelah semua ini?”
Matanya menatap langsung ke Liona, menangkap cahaya harap yang masih tersisa di sana. Harapan bahwa Alan tidak terlibat, atau setidaknya, punya alasan yang bisa dimengerti, bahwa semua kebohongan ini adalah cara canggungnya untuk mendekatkan diri.
Andin kemudian menyilangkan tangannya di dada, gestur yang menunjukkan skeptisisme sekaligus kekhawatiran. “Mau Alan bohongi lu atau enggak, bukannya lu sendiri yang bilang udah mau move on pas kencan buta kemarin?” ujarnya, mencoba menyadarkan.
Liona menggigit bibirnya bawah hingga nyaris pucat. “Masih ada yang ganjel, Din. Soal Alan,” akunya, suara pelan nyaris tak terdengar. “Gue masih bingung sama perasaannya, sama apa yang sebenernya dia mau. Dia gak sesimpel itu. Kadang ucapannya dingin, tapi tindakannya… tindakannya sering kerasa lebih jujur.” Ia menggeleng pelan, seolah berusaha memecahkan teka-teki yang tak ada jawabannya.
Mata Andin memicing, sinis namun penuh rasa penasaran. “Contohnya? Satu aja. Satu hal yang bikin lu yakin dia punya perasaan, bukan sekadar main-main.”