BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #24

24. Paradoks Hidup

“Semua orang akan pergi pada waktunya, Alan. Jangan pernah percaya siapapun.”

Bayangan kalimat itu selalu membayangi Alan, berbisik dalam hening, setiap kali ada seseorang yang mencoba melangkah terlalu dekat ke dalam dunianya. Suara ibunya, yang dulu lembut dan hangat, berubah menjadi mantra peringatan yang abadi.

Ibunya, sang mantan model yang cantik mempesona, calon aktris yang masa depannya cerah, pudar di usia tiga puluh lima tahun. Kanker dan depresi menggerogotinya perlahan selama setahun di balik dinding steril rumah sakit, sementara ayah Alan sibuk membangun kerajaan bisnisnya, jarang muncul, hingga kematiannya terasa begitu sepi dan tanpa perhatian.

Dari ibunyalah Alan belajar sebuah kebenaran pahit: bahwa wajah rupawan bisa menjadi racun yang mematikan. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri. Kecantikan itu bagai nektar yang memikat lebah-lebah yang hanya datang untuk mengambil, lalu pergi begitu cadangannya habis, meninggalkan bunga yang layu.

Dua tahun setelah kepergian ibunya, ayahnya menikahi wanita lain, yang membawa serta anaknya sendiri. Bagi Alan, ayahnya adalah pengkhianat. Bukti nyata dari ketidaksetiaan dan kelicikan.

Semakin dewasa, Alan semakin memahami bahwa yang ia benci bukanlah orang-orang yang mendekat, melainkan perasaan rentannya sendiri, rasa takut akan ditinggalkan yang selalu menghantuinya. Maka, ia membangun sebuah sistem pertahanan yang rumit. Ia menerima semua pujian dan perhatian itu, tetapi hanya dari kejauhan yang aman. Seperti seorang kurator yang memilih karya seni, ia hanya mengizinkan interaksi yang ia inginkan, tidak lebih.

Temboknya tinggi dan kokoh, disegel oleh filter-filter ketat. Semua ini demi satu tujuan: agar ia tidak terlalu berharap. Karena jika tidak pernah memiliki, maka tidak akan ada yang hilang. Jika selalu sendiri, maka saat orang-orang di sekitarnya pergi, dan mereka pasti akan pergi, itu tidak akan menyakitkan. Itu tidak akan meninggalkan luka.

Pemikiran inilah yang menjadi prinsip hidupnya. Prinsip yang membuatnya tak pernah sekalipun membalas perasaan setiap wanita yang mencoba mendekati hatinya. Mereka boleh mengagumi, tapi tidak boleh masuk. Mereka boleh menyukai, tapi tidak boleh mencintai. Baginya, itu adalah satu-satunya cara untuk tetap utuh.

Hari itu, sebuah pengakuan aneh sampai ke telinga Alan. Seorang gadis, yang hampir tak ia kenal, mengaku tidak bisa melupakannya bahkan setelah tiga tahun lamanya. Cinta sepihak. Yang lucu, Alan sama sekali tidak ingat apakah gadis itu pernah benar-benar mendekat padanya.

Liona. Teman satu les-nya Dany. Itulah yang ia tahu.

Perlahan, sebuah kesadaran aneh menyelinap dalam pikirannya: ada orang yang bisa menyukainya dari kejauhan, tanpa pernah mencoba menyentuh, memaksa, atau merobohkan tembok pertahanan yang ia bangun begitu kokoh. Itu adalah sebuah konsep yang asing, bahkan hampir tak masuk akal baginya.

Lalu, mengapa? Mengapa gadis yang mengaku menyukainya selama tiga tahun itu tidak pernah sekalipun mencoba mendekat? Apakah dia takut? Atau mungkin minder? Rasa penasaran mulai menggerayangi Alan. Menurut Alice, gadis itu aneh. Menurut Alan, gadis itu... bodoh. Bodoh dan lucu.

Sekian kali ia memperhatikannya, yang didapatnya hanyalah tontonan kekikukan yang absurd. Saat hendak menyapanya, bukannya lancar, dia malah menabrak pintu. Ketika Alan sengaja berdiri di sampingnya dekat papan pengumuman, gadis itu membeku seperti berang-berang yang ketakutan. Untuk sekedar menyapa, perlu usaha sebesar itu?

Rasa penasaran itulah yang kemudian mendorong Alan untuk meluangkan beberapa kesempatan. Namun, si gadis bodoh itu selalu gagal. Bahkan sampai terjatuh dan menumpahkan seluruh makanan dan minumannya di kantin. Ada sesuatu yang menghibur dari kebodohan dan kecerobohannya; itu seperti tontonan lucu yang menyenangkan untuk dilihat.

Tapi pada akhirnya, gadis itu memilih untuk menjauh. Entah karena alasan apa.

Dan Alan menemukan suratnya. Sebuah amplop merah muda yang cantik, tergeletak menyedihkan di antara sampah bekas makanan dan kertas-kertas tak berguna. Isinya adalah tulisan puitis dengan struktur bahasa yang berantakan, tapi jujur. Sangat jujur.

Lihat selengkapnya