BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #25

25. Membawa Tas Sendiri

Liona mendekati pintu rumah Alan dengan langkah pelan dan hati-hati, ujung sepatu flat-nya nyaris tak bersuara di lantai rumah Alan yang mengkilap. Hari ini penampilannya berbeda, lebih rapi, lebih dipikirkan. Dia mengenakan celana kulot berwarna coklat yang jatuh elegan dua sentimeter di bawah lututnya. Dengan atasan sebuah kemeja khaki yang sedikit kebesaran, membuatnya terlihat lebih kecil dari biasanya. Rambutnya diikat setengah, membiarkan beberapa helai menari lembut di sekitar lehernya yang ramping setiap kali ia menoleh.

Dia berhenti sebentar di ambang pintu, matanya berbinar dengan campuran keberanian dan keraguan yang khas. Ada sesuatu yang berbeda tentangnya hari ini, ada ketenangan yang baru, dia telah mengambil keputusan penting sebelum bahkan melangkah masuk ke dalam ruangan ini, untuk lebih berani dalam menghadapi Alan yang tampaknya, lebih malu-malu dari kelihatannya.

“Semenjak kamu jadi asistennya, Alan nggak mau ada tawaran kerja di luar kota. Nggak juga mau ada kerjaan yang diatas jam tujuh malam. Kalau bukan karena kamu, siapa lagi?”

Kata-kata Sofie semalam masih bergaung di kepalanya, memicu serangkaian "apa iya?" dan "jangan-jangan". Mungkinkah ada begitu banyak hal yang telah Alan lakukan diam-diam untuknya, yang selama ini luput karena matanya hanya tertuju pada dinding es yang dipamerkan pria itu? Pikiran itu membuatnya terbangun dengan senyum kecil dan jantung berdebar-debar. Hari ini, Liona memutuskan untuk melihat dengan perspektif baru.


Dia melangkah masuk ke rumah Alan dengan langkah ringan, bibirnya tak henti-hentinya mengulum senyum penuh arti.

“Pagi!” sapa Liona, suaranya cerah seperti sinar matahari yang menyelinap melalui jendela.

Alan, yang sudah lebih dulu merasakan kehadirannya, seperti radar yang secara naluriah terpicu oleh aura Liona, akhirnya memalingkan wajahnya dari televisi yang hanya jadi latar belakang. Matanya menangkap siluet Liona yang berdiri di balik pintu, disinari cahaya pagi. Penampilannya yang rapi, kulot coklat dan kemeja khaki, membuatnya terlihat berbeda. Lebih rapi dan serius. 

“Pagi Alan!” sapa Liona sekali lagi, senyumnya semakin lebar, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.

Alan hanya bisa mengerjapkan matanya, tubuhnya sedikit kaku. Ada apa dengan gadis ini? pikirnya dalam hati, sebuah alarm kecil berbunyi di kepalanya. Kemarin dia pergi dengan amarah yang membara, hari ini dia datang lebih awal dan bersikap seceria ini? Ini tidak normal. Ini menyeramkan.

“Lu masih mau kerja?” tanya Alan, suaranya datar, mencoba menyembunyikan kebingungannya.

Tapi Liona sama sekali tidak tersinggung. Alih-alih, dia malah mendekat dengan lincah, duduk di sofa dengan jarak yang sangat dekat, terlalu dekat, dari Alan. Aroma sabun mandi yang segar darinya tercium, memenuhi ruang antara mereka.

“Iya dong! Hari ini kan ada acara podcast di YouTube?” jawabnya riang, seolah-olah tidak ada ketegangan di antara mereka sama sekali. “Udah sarapan belum? Mau aku buatin?”


Alan refleks bergeser mundur, kulitnya merinding. Keramahan Liona yang tiba-tiba ini terasa seperti badai yang datang tanpa peringatan. Dia buru-buru bangkit dari sofa, berusaha mencari jarak aman. “Nggak usah, Bi Darti udah masak!” sahutnya cepat, hampir terbata-bata, sebelum bergegas menuju ruang makan seperti dikejar hantu.

Dari sofa, Liona hanya tersenyum sendiri. “Gemesin amat sih!” gumamnya pelan, lalu dengan semangat yang sama, dia menyusul Alan ke ruang makan. “Aku ikut sarapan, ya?” pintanya begitu saja lalu duduk di samping Alan, seolah-olah itu adalah hal yang paling wajar di dunia. Padahal biasanya dia duduk di seberang, beberapa kursi kosong sebagai jarak mereka.

Lihat selengkapnya