BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #26

26. Membuat Lubang di Dinding

Seakan mengulang rutinitas yang baru saja ditemukannya, Liona kembali memasuki rumah Alan. Namun kali ini, langkah jinjitnya bukanlah berasal dari kegembiraan, melainkan dari sebuah kehati-hatian yang membuat nafasnya tertahan. Setiap injakan kakinya berusaha sempoyongan, takut suaranya mengganggu kesunyian rumah yang sudah lelap.

Jam telah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Udara malam terasa dingin menempel di kulitnya, tetapi ada api yang jauh lebih panas yang berkobar di dalam dadanya. Baru beberapa jam lalu ia meninggalkan rumah ini, setelah seharian penuh dengan gejolak emosi yang tak karuan. Pertemuannya dengan Dany di kafe tadi sore bagai membuka sebuah peti pandora yang selama ini terkunci rapat. Penjelasan Dany, yang berbelit, dipenuhi penyesalan, dan akhirnya mengakui segala kebohongannya, tidak membuatnya lega. Justru, itu memicu sebuah kerinduan yang membara, sebuah kebutuhan yang tak tertahankan untuk melihat Alan.

Jadi, dengan motor yang baru saja dihidupkannya setelah berhari-hari teronggok, ia melesat menuju rumah Alan. Logikanya berteriak bahwa ini gila, bahwa menyelinap masuk di tengah malam dengan kunci cadangan adalah pelanggaran batas yang tak termaafkan. Tapi hatinya, yang dipenuhi oleh sesuatu yang liar dan berani setelah mendengar kebenaran, tak peduli.

Pintu tertutup dengan hampir tanpa suara di belakangnya. Ruang tamu yang luas diterangi hanya oleh cahaya biru televisi yang menyiarkan ulang pertandingan olahraga, volumenya begitu pelan sehingga hanya desisan suara komentator yang memecah kesunyian. Lalu, matanya menangkap sosok itu.

Alan tertidur di sofa, persis di posisi yang sama dimana Liona waktu itu pernah tertidur lelap setelah menjahit celananya. Tubuhnya yang biasanya tegak dan berjarak, kini terlihat lemas dan rentan. Cahaya televisi memantul di profil wajahnya yang tajam, menerangi bulu mata yang jarang terlihat, dan tangan yang terkulai lemah di samping tubuhnya.

Hati Liona terasa seperti mencelos oleh sesuatu yang hangat dan perih. Melihatnya seperti ini, seorang Alan yang perkasa, yang selalu berusaha mengendalikan segalanya, tertidur sendirian di ruangan yang luas dan sepi, membuat dadanya sesak. Setelah mendengar segala sesuatu dari Dany, setelah memahami sedikit lebih dalam tentang tembok yang dibangun Alan, pandangannya terhadap pria ini berubah selamanya.

Cintanya, yang sudah ada sejak enam tahun lalu, kini bukan lagi sekadar kekaguman pada seorang yang tak tersentuh. Itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih membara, lebih berani. Sebuah keinginan untuk bukan hanya mencintai, tetapi juga melindungi. Untuk menjangkau seseorang yang mungkin bahkan tidak tahu bagaimana caranya meminta tolong.

Dia berjalan mendekat, masih dengan langkah jinjitnya, dan berhenti tepat di samping sofa. Dia tidak berani menyentuh, tidak berani membangunkannya. Dia hanya berdiri disana, menatapnya dalam cahaya yang remang-remang, membiarkan rasa sayang dan kerinduannya membanjiri setiap sudut jiwanya. Di rumah yang sunyi ini, dengan hanya televisi sebagai saksi, Liona membiarkan dirinya jatuh lebih dalam lagi ke dalam cinta yang mungkin akan menyakitkan, tetapi terasa begitu benar.

Alan bergerak perlahan, tubuhnya yang semula miring berbalik hingga terlentang. Dalam cahaya remang televisi, Liona melihat dengan jelas butiran peluh yang membasahi dahinya, membentuk jalur-jalur tipis di pelipisnya. Nafasnya terdengar agak berat, tidak seperti biasanya yang selalu terkendali.

Matanya lalu beralih ke meja di samping sofa. Sebuah bungkus obat pereda nyeri dan segelas air putih yang masih setengah tergeletak di sana. Realisasi itu menyentak, Alan tertidur dalam kondisi tidak sehat, mungkin setelah berusaha menahan rasa sakit yang cukup mengganggu.

Tanpa pikir panjang, kaki Liona telah membawanya mendekat. Dia duduk di tepi sofa, tepat di samping tubuh Alan yang terlihat lebih rapuh dari biasanya. Tanpa ragu, tangannya terulur, dan dengan ujung jari yang gemetar namun penuh kelembutan, ia mengusap peluh dingin di dahi Alan.

Lihat selengkapnya