BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #27

27. Datang Sama Siapa?

Liona sebenarnya sudah siap mental jika Alan tak mengingat sama sekali kejadian malam itu di sofa. Segala risiko telah ia terima begitu ia memutuskan untuk melangkahkan kaki ke rumah Alan pada larut malam. Yang tak ia pahami adalah perubahan sikap Alan yang justru menjadi semakin tertutup dan mandiri sejak kejadian tersebut. Pria itu kini tanpa alasan yang jelas selalu membawa tas beratnya sendiri, sesuatu yang sebelumnya sering kali ia percayakan pada Liona. Beberapa kali pula ia dengan tegas menolak ditemani dalam berbagai agenda kegiatannya, bahkan meminta Liona untuk tidak menunggunya saat latihan. Segala sesuatu seakan ingin ia tangani sendiri.

Perilaku Alan yang berubah drastis itu membuat Liona terusik. Dalam diam, ia bertanya-tanya: Lantas, apa sebenarnya guna dia sebagai asisten manajer?

Masa kerjanya sudah berjalan dua bulan. Tinggal sebulan lagi sebelum kontraknya berakhir. Apakah ini yang dimaksud Dany? Bahwa Alan sesungguhnya tidak menginginkan asisten, dan tidak berencana untuk mempertahankannya setelah kontrak selesai? Dengan menunjukkan bahwa ia mampu melakukan segalanya sendiri, bahkan ketika Dany tidak ada, apakah Alan sedang menyampaikan pesan halus bahwa kehadiran Liona tidaklah diperlukan?

Kebingungan Liona kian menjadi ketika Alice datang agak sering di rumah Alan. Minggu kemarin dia dua kali datang. Minggu ini, dia hadir lagi. Setiap kali wanita itu datang, ia selalu meminta Liona pulang lebih awal, dan yang membuat hati Liona tercabik, Alan tidak pernah membela atau menahannya. Ia hanya diam, membiarkan Liona pergi tanpa sepatah kata pun.

"Sebenarnya, apa sih hubungan Alice dan Alan?" tanya Liona suatu kali pada Dany, berharap mendapat pencerahan.

Namun, Dany hanya menggeleng, wajahnya menunjukkan keberatan. "Untuk yang satu itu, lu harus tanya langsung ke Alan. Gue gak punya wewenang buat jawab kalau dia gak  kasih izin," ujarnya, ditutup dengan senyum simpul yang membuat Liona semakin frustasi.

Situasi ini membuatnya merasa seperti berjalan di tempat tanpa kemajuan. Ia sudah berusaha menerobos tembok pertahanan Alan, menunjukkan ketertarikan secara lebih agresif dan blak-blakan. Namun, alih-alih membuka diri, Alan justru seakan menambal kembali setiap celah yang berhasil Liona buka, dengan kehadiran Alice, yang setia berada di sisinya selama enam tahun terakhir. Sebuah ikatan yang, betapapun Liona berusaha, terasa terlalu kokoh untuk digoyahkan.

Di tengah kepungan rasa tidak aman dan kebingungan ini, Liona mulai mempertanyakan segalanya, apakah usahanya selama ini sia-sia? Apakah ada harapan baginya untuk benar-benar sampai ke hati Alan, atau ia hanya akan menjadi kenangan sementara yang perlahan pudar?

Apakah arti jawaban dari “nggak tahu” Alan waktu Liona menanyakan apa pria itu menyukainya, benar-benar artinya tak tahu? Karena tak pernah dipikirkan? Karena tak pernah dirasakan? Liona bingung. Jadi ia mencoba satu cara lagi, untuk memperjelas posisinya di mata Alan.

Weekend kemarin, ucapan Andin seperti membawa secercah pencerahan. Saat sahabatnya itu tiba-tiba minta ditemani berbelanja gaun, Liona yang masih larut dalam pikiran yang ruwet hanya bisa terduduk lesu di kursi tunggu toko.

“Liona! Kenapa lu masih diem aja? Gak pilih-pilih gaun?” tegur Andin, tangan sudah penuh dengan beberapa helai gaun yang ia pilihkan.

Liona terlonjak dari lamunannya, dahi berkerut tanda bingung. “Buat apa?”


Andin menghela napas cukup keras, menunjukkan betapa ia sudah hampir putus asa. “Buat ke nikahan Kak Sofie akhir minggu ini! Jangan bilang lu udah lupa?”

“Ah,” Liona mengangguk perlahan, baru teringat. Tapi tetap saja ia mengerutkan kening. “Buat apa beli gaun khusus?”

Andin meletakkan semua gaun di tangannya ke bangku dengan sedikit kesal. “Lu mau datang ke pesta pernikahan mewah dan private pake jeans belel dan kaus oblong itu? Apa gak malu kalau dateng bareng Alan nanti?”

Datang bersama Alan. Kalimat itu menyentak Liona. Ia memang belum memikirkannya, tapi memang begitulah kenyataannya nanti. Entah dengan Dany atau tidak, ia akan berada di sana sebagai bagian dari rombongan Alan. Seketika, semangatnya tersulut. Ia bangkit dari kursi dan mendekati rak-rak gaun dengan determinasi baru. Andin tersenyum kecil, puas karena strateginya berhasil. Tapi senyum itu segera pudar ketika ia melihat raut putus asa kembali menghiasi wajah Liona.

“Kenapa?” tanya Andin, menghampiri.

“Ini... gak salah, kan?” Liona menunjukkan label harga di salah satu gaun. “Satu setengah juta?”

Andin mengusap bahu Liona dengan lembut. “Tenang, nanti gue bantu pilih yang harganya lebih bersahabat. Lagipula gue punya diskon member di sini.”

“Oke,” lirih Liona akhirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Harus cantik di depan Alan, kan?” ujarnya mencoba bersemangat, dan Andin mengangguk penuh dukungan.

Setelah menjelajahi hampir seluruh bagian toko, pilihan Andin akhirnya jatuh pada sebuah gaun merah knee-length tanpa strap, dengan motif mawar hitam besar yang dramatis di sisi kanan dada. Sementara Liona memilih gaun ungu muda dengan strap spaghetti yang jatuh hingga di bawah lutut, dengan detail tali yang membentuk pola segitiga terbalik di bagian punggung, elegan dan sedikit playful.

Di balik pintu fitting room, Liona menatap bayangannya di cermin. Gaun itu memang indah, tapi apakah ini dia? Apakah ini pantas untuknya?

“Cocok banget sama sepatu putih, Lio,” komentar Andin dari luar, suaranya terdengar antusias. “Gue punya koleksi yang cocok di rumah. Ukuran kaki kita sama, kan?”

Liona mengangguk di balik pintu, sedikit lega. Setidaknya ia tak perlu mengeluarkan uang tambahan untuk sepatu. Gaun ini saja harganya sudah membuatnya harus berhemat setidaknya untuk dua minggu kedepan. Tapi untuk Alan, untuk kesempatan berdiri di sampingnya dengan percaya diri di depan semua orang, mungkin ini sepadan.

Sekarang, di meja makan yang sama dimana ritual pagi mereka berlangsung, Liona dengan percaya diri datang lebih awal untuk ‘numpang sarapan’ dan Alan yang sudah berhenti memprotes, memilih diam dan mengabaikan, suasana pagi ini terasa lebih tegang. Liona mengetuk-ngetuk ujung sendoknya di bibir, pikirannya melayang ke acara dua hari lagi.

“Alan, lusa ke nikahan Bu Sofie, berangkatnya dari rumah masing-masing atau dari sini?” tanyanya, mencoba menyelipkan pertanyaan di sela-sela kunyahan nasi gorengnya. Matanya menyipit, mengawasi setiap perubahan ekspresi Alan.

“Emang Bu Sofie nikah?” balas Alan, tanpa mengalihkan pandangannya dari udang di piringnya. Suaranya datar, seperti orang yang benar-benar lupa.

Lihat selengkapnya