BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #28

28. Pernyataan Mendadak

Dan hari itu pun akhirnya tiba. Hari kebahagiaan untuk Sofie, sekaligus duka untuk Liona. Hari dimana dia akan mendeklarasikan menyerah, pada dirinya sendiri.

Memasuki usia dua puluh tahunan, minat terhadap dunia kosmetik dan gaya feminin memang kerap menghampiri. Hari ini, minat itu menyala kuat dalam diri Liona. Meski penampilannya masih berbicara bahasa kasual, celana jeans robek, tank top putih, dan kemeja flanel hitam yang dibiarkan terbuka, ia tak bisa menyangkal ketertarikannya saat menyaksikan penata rias sedang asyik mendandani Andin di hadapannya.


Salon eksklusif di Jakarta Selatan ini seperti dunia lain yang memesona. Nuansa putih dan emas mendominasi, menciptakan aura elegan yang membuat siapapun yang masuk merasa seperti superstar. Kursi riasnya yang empuk terasa mewah, mendukung punggungnya dengan sempurna. Cermin besar yang dikelilingi oleh lampu-lampu kecil berkilauan memantulkan bayangannya dengan jelas, seolah menyoroti setiap inci wajahnya untuk diubah menjadi sebuah karya seni. Di atas meja rias putih yang bersih, teratur berjejer pot-pot kecil berisi bunga berwarna pink lembut yang terselip di antara dedaunan hijau, menambah kesan segar dan mewah.

Liona duduk dengan patuh, matanya mengikuti setiap gerakan terampil penata rias. Ia merasakan sentuhan lembut kuas dan jari-jari ahli yang sedang bekerja di wajahnya. Awalnya, ada rasa canggung. Ia tak tahu nama-nama produk yang dioleskan. Sebuah krim berwarna senada dengan kulitnya yang putih langsat diratakan dengan halus, membuat tekstur kulitnya terasa seperti sutra. Lalu, bedak halus ditepuk-tepuk pelan, memberikan kesan matte yang sempurna.

“Itu foundation,” seru Andin dari kursi sebelah, seolah mampu membaca kebingungan Liona. Suaranya ramah, tanpa sedikitpun nada merendahkan. “Kalau yang itu contour,” tambahnya sambil tersenyum.

Liona pun tersipu malu, pipinya yang sudah sedikit kemerahan karena blush-on menjadi semakin berwarna. Rasanya seperti murid baru yang sedang belajar alfabet kecantikan. Namun, rasa malu itu perlahan tergantikan oleh decak kagum. Ia memandangi bayangannya di cermin yang mulai berubah. Make-up yang diterapkan sangat minimalis dan natural, namun efeknya luar biasa. Kulitnya tampak lebih mulus dan bercahaya.

“Gue harus beli lipstik warna ini nih,” gumam Liona pada bayangannya sendiri. Benda itulah yang paling menarik perhatiannya. Bibirnya yang biasanya polos, kini dihias oleh lipstik warna pink gelap yang diulas tipis dan rapi, membuat senyumannya terlihat lebih manis. Pikirannya lalu melayang kepada Alice. Orang yang selalu tampil sempurna dengan lipstiknya. Bayangan Alan yang mungkin datang bersama Alice menghantui. Ia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, lalu cepat-cepat melepaskannya saat ingat riasannya yang masih basah. “Uh, harus ingat-ingat biar nggak gigit bibir,” bisiknya pada diri sendiri, memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa cemburu dan sedih yang menggerogoti.

Proses merias wajah berlanjut dengan seksama. Seorang penata rias lain dengan hati-hati membentuk alisnya menggunakan pensil alis coklat gelap, memberi bentuk yang lebih rapi tanpa kehilangan kesan alami. Di kelopak matanya, eyeshadow warna pink yang sedikit lebih gelap dari lipstiknya diaplikasikan di bagian atas, sementara warna yang lebih terang ditaruh di bagian kelopak mata bawah, mendekati bulu mata. Liona menolak dengan halus untuk memakai bulu mata palsu, itu akan terasa terlalu berat dan tidak nyaman baginya. Sebagai gantinya, penata rias mengaplikasikan maskara secara hati-hati, membuat bulu matanya yang sudah lentik terlihat lebih tebal dan bervolume. Garis eyeliner hitam digambar tidak terlalu tebal, hanya menegaskan bentuk matanya sehingga terlihat lebih besar dan berbinar, namun tetap natural.

Bahkan pada hidungnya yang tidak terlalu mancung, penata rias tidak memaksakan contouring yang berat. Hanya dengan shading dan highlighting yang sangat ringan, hidungnya terlihat lebih memiliki dimensi tanpa terkesan dipaksakan. Hasil akhirnya membuat Liona hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Bukan karena wajahnya berubah drastis, tetapi karena semua fitur wajahnya tampak ditingkatkan ke versi terbaiknya, tetap seperti dirinya, hanya lebih bersinar di bagian luar. Di dalamnya, sedang hancur perlahan-lahan.

“Perfect,” desisnya pelan, tersenyum kecil pada bayangannya di cermin. Senyum yang mengundang rasa percaya diri baru, dan tentunya masih dihantui oleh keraguan akan hatinya sendiri. Hari ini, setidaknya, penampilannya sempurna. Esok hari, entah apa yang akan terjadi, tapi untuk sekarang, ia merasa cantik. Setidaknya untuk dia lihat sendiri.

***

Di dalam taksi yang sejuk, telapak tangan Liona terasa lembab dan dingin. Ia menyembunyikan tangannya yang bergetar halus di lipatan gaunnya, sementara Andin di sampingnya sama sekali tidak menyadari gelombang kegugupan yang melanda sahabatnya. Andin terlalu asyik memeriksa setiap detail riasannya di kaca lipat kecil, memastikan semuanya masih sempurna.

Sesaat sebelum taksi mereka berhenti, saat melewati gerbang hotel megah, mata Liona memandang ke pria asing berdiri gagah di pelataran. Jasnya rapi, rambutnya tertata, menyandang aura percaya diri yang membuat Liona sedikit terpesona. Tapi pikirannya langsung melesat kepada seseorang yang lain: Alan. Bagaimana penampilannya hari ini? Hanya membayangkan wajahnya, jantung Liona langsung berdetak kencang, bagai drum yang dipukul tak karuan di dalam rongga dadanya.

Saat taksi akhirnya berhenti di bawah kanopi hotel berbintang empat yang megah, Liona menarik napas dalam-dalam. Ia membuka pintu dengan hati-hati, langkahnya pelan dan penuh perhitungan saat kakinya menyentuh aspal yang halus. Sepatu hak tinggi berwarna putih yang dipinjamkannya dari Andin terasa begitu asing dan berharga. Kulitnya yang mulus dan sempurna membuat Liona takut membuatnya lecet sedikitpun. Setiap langkahnya seperti menapaki ranjau kecemasan.

Di sela-sela kegugupannya, sebuah senyum tipis tak terbendung menghias bibir Liona saat ia menutup pintu taksi. Jadi, begini rasanya. Begini rasanya datang ke sebuah pesta resmi, menjadi bagian dari keramaian yang elegan. Matanya menyapu pandang ke sekeliling. Orang-orang lalu lalang dengan gaun-gaun mewah yang berkilauan dan jas-jas yang disetrika rapi. Pilar-pilar marmer putih besar menjulang menopang langit-langit yang megah, dihiasi lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya hangat, persis seperti adegan dalam film-film yang pernah ia tonton. Dunia ini terasa begitu nyata dan sekaligus seperti mimpi.

"Andin, ayo," bisik Liona, menggandeng lengan sahabatnya. Mereka berdua lalu menaiki tangga marmer yang lebar. Sepatu putihnya menapaki lantai marmer hitam yang mengilat, dihiasi motif seperti permadani besar yang seolah mengarahkan mereka menuju pintu ballroom yang terbuka lebar.

Pemandangan yang menyambut mereka di dalam ballroom benar-benar membuat Liona terpana dan sesaat kehilangan kata-kata. Suara gemerisik gaun, gelak tawa, dan denting gelas berpadu dengan alunan musik orkestra yang lembut. Ruangannya sangat luas dan ramai, namun segala sesuatu tertata dengan rapi dan elegan. Dengan bimbingan Andin, Liona menaruh kado yang dibawanya untuk Sofie di atas meja penerima tamu yang dihiasi rangkaian bunga segar nan cantik.

"Kita salamin pengantinnya dulu," bisik Andin setelah mereka berdua menuliskan nama di buku tamu berlapis beludru.

Liona hanya bisa mengangguk, matanya masih seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke taman hiburan, terus menatap takjub ke segala penjuru. Karpet merah lembut di bawah kakinya masih terlihat bersih sempurna meski telah diinjak oleh banyak orang. Di kiri dan kanannya, dekorasi bunga-bunga segar yang beraneka warna dan jenis terhampar, memancarkan aroma harum yang semerbak. Saat mereka mendekati pelaminan, napas Liona hampir tersangkut. Sofie duduk anggun dengan gaun pengantin berwarna merah yang terlihat begitu elegan dan mewah. Riasan wajahnya sungguh sempurna; meski Liona pernah melihatnya berdandan tebal untuk acara televisi, tidak ada yang bisa menandingi kecantikannya di hari pernikahan ini.

"Lionaaaa!" sapa Bu Sofie dengan suara yang penuh sukacita, sedikit histeris, setelah Andin memberikan ucapan selamat. Sofie meraih kedua tangan Liona dan memandangnya dengan penuh kasih. "Terima kasih sudah datang, sayang. Dan terima kasih atas saran-saran kamu," ujarnya.

Liona tersenyum malu, rasa haru menyelimutinya. "Bukan apa-apa, Bu. Selamat atas pernikahannya. Semoga Bu Sofie dan suami selalu berbahagia, sampai maut yang memisahkan."

Sofie mengangguk haru, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, ya. Kamu kelihatan cantik banget hari ini. Aku sampai pangling!" pujinya tulus, membuat pipi Liona yang sudah dipulas blush-on pun merona semakin dalam karena malu dan senang.

Lalu, datanglah pertanyaan yang tidak terduga, disampaikan dengan nada biasa saja, "Jadi, kamu datang sama siapa?"

Deg! Pertanyaan itu seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam ketenangan Liona. Dadanya sesak untuk sesaat. Ia terdiam sejenak, otaknya berputar cepat. Tidak mungkin bilang 'dengan Andin', pikirnya panik, karena Andin jelas-jelas sudah ada di depannya dan sedang menyalami Produser Chaka dan bukan itu yang Sofie maksud. Ia memburu waktu, mencari kata-kata yang tepat yang tidak akan memancing pertanyaan lanjutan. Rahangnya mengatup rapat sebentar sebelum akhirnya ia memutuskan untuk hanya tersenyum kecut dan memberikan jawaban yang samar, sambil berharap perhatian Sofie mengerti.

Lihat selengkapnya