BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #29

29. Pukulan Nyaring di Malam Hari

Panas menyebar dengan cepat dari leher ke seluruh wajah Liona, membuat pipinya memerah terang. Ia buru-buru menundukkan kepala lagi, rasa malu dan panik mencampur jadi satu. Jari-jarinya meremas ujung gaunnya. Ia pernah mencurigai hal ini, tetapi mendengarnya langsung, terlebih di saat hatinya sedang kacau balau oleh sosok Alan, terasa seperti guyuran air yang membingungkan. Perasaannya sendiri sedang berperang antara keinginan kuat untuk menyerah pada Alan dan kenyataan bahwa itu sangat sulit dilakukan. Ia sama sekali tidak siap untuk menerima perasaan baru, apalagi meresponsnya.

Melihat reaksi Liona, senyum Dany sedikit melebar, diiringi oleh debaran harap di dadanya. "Gue cuma nanya, kok. Lu gak perlu langsung dijawab sekarang," katanya, berusaha meredakan ketegangan. "Gue cuma pengen lu tau aja."

Namun, kata-kata itu justru memicu rasa bersalah dalam diri Liona. "Maaf," sahutnya segera, suara kecil yang penuh beban.

Sekarang giliran Dany yang terkejut, matanya membesar. "Eh, gue bilang gak usah dijawab sekarang," protesnya, mencoba tetap santai.

Liona mengangkat wajahnya, tatapannya penuh dengan permintaan maaf yang tulus. "Maaf, Dany," ulangnya, lebih tegas kali ini. Di matanya yang berkaca-kaca, Dany bisa membaca sebuah penolakan halus.

Rahang Dany mengeras. Kekecewaan mulai merayap, diikuti oleh sebuah pemikiran yang selama ini pahami. "Apa karena Alan?" tanyanya, suaranya datar namun tajam. "Lu masih suka sama dia?"

Liona terdiam membisu. Pertanyaan itu seperti mengoyak luka yang belum sembuh. Bahkan Dany tahu? Sejak kapan? Pikirannya berputar, tetapi ia terlalu lelah untuk menyelidiki. Tubuhnya terasa sangat berat. Ia menghela nafas pelan, mencoba mencari kata-kata. "Gue... gak tahu. Dan gue gak tahu juga, apa gue pantes jadiin Alan sebagai alasan." Ucapannya terdengar lesu, penuh dengan kebingungan dan kelelahan batin.

Dany menggeleng-geleng kepalanya, rasa kecewa yang dalam terpancar jelas. "Jadi, lu masih belum bisa lupain perasaan lu ke dia?" desaknya, suaranya sedikit lebih tinggi.

Liona menunduk lebih dalam. Seluruh tubuhnya bergetar halus. Bibirnya digigitnya kuat-kuat, berusaha menahan segala emosi yang ingin meluap. Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Gue tahu, Lio," lanjut Dany, nadanya sekarang lebih lembut tetapi tetap menusuk. "Gue tahu dari dulu lu suka sama Alan. Sejak kita masih SMA. Makanya gue gak habis pikir, sampai sekarang, setelah semua perlakuannya yang dingin itu, lu masih bisa punya perasaan sama dia. Lu harusnya udah lupain dia."

Setiap kata seperti jarum yang menancap di hati Liona. Sangat perih. Rasanya menyedihkan sekali bahwa orang lain bisa melihat betapa memalukan dan tidak berharganya cinta sepihaknya ini. Tekanan di dadanya sudah tidak tertahankan lagi. Air mata yang selama ia tahan akhirnya menetes, membasahi pipinya. "Nggak ada orang yang lebih pengen nyerah daripada diri gue sendiri, Dan," ucapnya dengan suara bergetar, emosinya akhirnya meledak. "Lu nggak tahu, gak akan pernah tahu, betapa lelahnya gue selama ini!"

Dany tertegun. Ia tidak menyangka akan mendapat respons yang begitu emosional dan menyakitkan.

"Gue mau lupain dia, mau banget!" tangis Liona semakin menjadi, suaranya tersendat-sendat. "Tapi gue nggak bisa! Karena berkali-kali gue coba, berkali-kali juga gue gagal."

Melihat Liona yang hancur dan tersedu-sedu, hati Dany luluh. Bibirnya bergetar menahan haru. Dengan penuh, ia mengangkat tangan kirinya dan mengarahkannya ke kepala Liona. "Maaf," bisiknya penuh penyesalan, "Maafin gue ya, udah ngomong kayak tadi. Gue salah. Nggak seharusnya gue bilang begitu." Jari-jarinya dengan lembut mengelus-elus rambut Liona, mencoba menenangkan.

Namun, bukannya reda, sentuhan lembut itu justru membuat Liona semakin terisak. Tubuhnya gemetar lebih kencang, tangisannya seperti melepaskan semua beban yang dipendamnya selama bertahun-tahun.

Tanpa bisa menahan diri lagi, dan didorong oleh rasa iba yang mendalam, Dany membuka lengannya dan merengkuh Liona ke dalam pelukan. Ia membiarkan gadis itu menangis di bahunya, merasakan bajunya mulai basah oleh air mata yang penuh rasa sakit itu. Nangis aja, Lio. Luapin semua rasa sakitnya. Abis itu, coba lagi untuk lupain dia, doanya dalam hati.

Saat itulah, pandangan Dany yang sedang memeluk Liona tertuju pada sebuah sosok yang berdiri kaku beberapa langkah di depan mereka. Jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Alan. Pria itu berdiri di sana, wajahnya seperti topeng yang dingin dan tak terbaca, matanya menatap tajam ke arah mereka berdua yang sedang berpelukan. Suasana yang sudah panas oleh emosi tiba-tiba membeku oleh kehadirannya yang tak terduga.

Liona menarik tubuhnya perlahan dari pelukan Dany, perasaan campur aduk antara malu, kesal, dan kacau balau. Namun, semua itu membeku saat matanya bertemu dengan tatapan Alan yang seperti es. Liona bisa menangkap gemuruh amarah dan sesuatu yang lain di mata Alan. Kecemburuan? Ataukah hanya harga diri yang terluka?

Lihat selengkapnya