BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #30

30. Runtuhnya Tembok Pertahanan

Alan terdiam di sofa, memandang ke televisi yang suaranya lebih nyaring daripada biasa. Seakan bentuk usaha darinya untuk mengusir sepi yang menyelimuti diri. Tatapannya kosong lurus ke depan, melihat rangkaian gambar bergerak itu tanpa benar-benar memperhatikannya. Di ambang pintu menuju ke ruang makan, Bi Darti mengamati. Ia sudah kerja dengan Alan selama enam tahun terakhir, tapi tak pernah sekalipun melihat Alan dalam kondisi linglung begini.

Pria itu bahkan tak menyentuh sarapan tadi pagi, dan sekarang sudah waktunya bagi Bi Darti menyiapkan makan siang, namun ia kebingungan. Haruskah ia memanaskan makanan tadi pagi, atau menyiapkan makanan baru yang kemungkinan besar tadi disentuh lagi.

Tatapan Bi Darti bergeser ke sosok Dany yang memasuki rumah dan mendekat ke arah Alan. Dari kejauhan saja dia bisa melihat dengan jelas kalau ada luka yang sama di wajah pria itu, luka yang juga Alan miliki. Dari sini dia sadar, kalau dua pria ini nampak habis berkelahi. Sambil menggelengkan kepalanya tak mengerti, Bi Darti menarik dirinya kembali ke arah dapur. Tak ingin terlihat menguping pembicaraan mereka.

“Semua jadwal tiga hari kedepan gue kosongin,” ucap Dany, tanpa basa-basi sama sekali, dari balik sofa. “Muka lu kayak gitu gimana mau kerja.” Ada nada kesal dan sesal yang datang bersamaan dalam ucapannya.

Alan bergeming, tak menengok sama sekali.

“Liona nggak bisa dihubungin dari semalem, sebenernya lu ngapain kemarin?” Dany mulai menginterogasi, padahal tahu kalau tak akan mendengar jawaban apapun dari mulut Alan.

Ia bergerak mendekat, memutar bagian samping sofa sampai akhirnya tiba di hadapan Alan, masih berdiri memandang pria yang jelas tak kelihatan seperti dirinya yang biasa itu. “Gue berkali-kali nanya lu suka apa nggak sama Liona, lu kira itu karena gue gak tahu? Bukan, itu karena elu yang gak tahu!”

Bola mata Alan yang semula terpaku pada satu titik, kelihatan mulai bergerak. Kepalanya perlahan menoleh, sedikit mendongak ke Dany yang masih berdiri.

“Sampe sekarang lu masih bingung?” tanya Dany lagi, melemparkan tatapan heran yang teramat sangat. “Lu suka Liona, Lan! Apa lagi sih yang lu pikirin?”

Tatapan Alan mencair, tapi ia justru mengalihkan pandangannya dari Dany, kembali ke televisi yang berisik. “Kenapa lu repot-repot ngomong kayak gini? Bukannya kalian pacaran?”

Dany terdiam sejenak, dahinya berkerut, bibirnya mengatup dan bergerak sedikit mengerucut. Mendadak merasa lucu melihat Alan yang dengan wajah konsisten acuh itu, mengatakan hal yang jelas-jelas menunjukkan kerentanan dalam hatinya. Dalam benaknya, Dany kesal sendiri. Seharusnya dia marah dengan cowok ini. Tapi ia terlalu tahu Alan, dia terlalu paham apa yang sedang ada dipikiran cowok ini. Dan itu membuatnya kasihan sekaligus gemas.

“Lu ngomong kayak gitu, beneran nggak tahu apa ngeledek gue?” ucap Dany kemudian, masih punya tenaga untuk bermain-main dengan kebingungan Alan yang langka.

Alan melirik cepat. Kali ini sepenuhnya menunjukkan perhatian ke Dany.

“Gue emang nembak Liona kemarin, tapi dia nolak gue. Puas lu sekarang?” Dany membanting tubuhnya di sofa. Ketegangan di dalam dadanya, berkurang setelah melihat ekspresi Alan barusan.

Di sampingnya Alan masih memandangnya lekat. Melemparkan tatapan penasaran sekaligus tak percaya atas ucapan yang Dany lontarkan. “Kenapa? Kenapa dia nolak lu?”

“Ch!” cibir Dany, tertawa sinis. “Sombong banget mau denger langsung.” Ucapnya sarkatis. “Ya menurut lu karena siapa? Elu lah!”

Alan terdiam, bukan karena tidak paham, tapi justru karena terlalu paham. Ia bukan orang yang tak pernah merasakan ketertarikan pada wanita. Sebagai lelaki normal, ia pernah merasakan getar-getar itu beberapa kali. Tapi yang ia rasakan untuk Liona berbeda. Selama ini, ia meyakini dirinya hanya menyukai keberadaan Liona karena gadis itu lucu dengan kebodohan kecilnya yang menggemaskan. Ia menghargai cara Liona selalu tahu batas, tidak pernah memaksa masuk ke wilayah privasi yang ia jaga ketat.

Keputusan Liona untuk move on seharusnya menjadi jawaban yang sempurna bagi Alan yang enggan membuka hatinya. Seharusnya ia merasa lega. Gadis itu pergi sebelum Alan perlu memberikan secuil pun hatinya. Itu seharusnya yang ia inginkan, bukan?

Tapi kenyataannya tidak. Melihat Liona dalam balutan gaun yang memesona, riasan yang menyoroti kecantikan alaminya, dan lengannya yang terkalung pada Dany, dada Alan terasa seperti dihantam palu. Rasanya nyata, menyakitkan, dan menusuk sampai ke tulang sumsum.

Lihat selengkapnya