BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #31

31. Lebih Mengejutkan Dari Pernyataan Cinta

Ini sudah hari kedua Liona terkurung dalam ruang sunyi kamarnya. Tubuhnya lemas tak berdaya, hanya berbaring tak bergerak di atas kasur yang mulai terasa panas oleh lamanya waktu yang dihabiskan. Andin sempat datang kemarin pagi, suara sahabatnya itu memanggil-manggil namanya dari balik pintu yang terkunci. Tapi Liona hanya memejamkan mata lebih rapat, membiarkan setiap ketukan dan panggilan itu memantul dan menghilang dalam kesunyian rumahnya. Setelah setengah jam menunggu dengan sia-sia, langkah kaki Andin akhirnya menjauh, meninggalkan Liona kembali bersama kesendiriannya yang pekat.

Ponselnya yang tak henti-hentinya berdering oleh panggilan Dany akhirnya diam. Baterainya habis, mengikuti kondisi pemiliknya yang juga kehabisan tenaga. Ia sudah berhenti menangis sejak kemarin. Air matanya seolah telah kering, meninggalkan bekas yang bengkak dan perih di kelopak matanya. Namun, yang tersisa adalah sebuah kelelahan yang lebih dalam dari sekadar fisik, sebuah rasa hampa yang membuatnya bahkan tak memiliki energi untuk sekadar bangun dari tempat tidur.

Beberapa kali ia tertidur, bukan karena kantuk, tetapi karena kelelahan mental yang memaksanya untuk melarikan diri. Saat terbuka, pandangannya kosong, menatap langit-langit kamar yang putih itu seolah-olah bisa membacakan jawaban dari semua rasa sakitnya. Sunyi. Begitu sangat sunyi. Hanya hembusan nafasnya sendiri yang terdengar, dan detak jarum jam dinding yang konstan, menandai berlalunya waktu yang terasa begitu lambat dan menyiksa.

Lalu, tiba-tiba, sebuah suara mengiris kesunyian itu.


Suara ketukan di pintu. Lebih keras dari suara jam. Lebih nyata daripada bayang-bayang Alan yang terus menghantuinya.

Tubuhnya sedikit kaku, tetapi dia tidak bergerak. Matanya masih menatap langit-langit. Siapa lagi? Andin? Dany? Atau tukang listrik yang mau cek meteran?

Dia membiarkan ketukan itu bergema, memenuhi ruangan, menunggu apakah suara itu akan pergi dengan sendirinya seperti yang lain, atau apakah kali ini, dia harus menghadapinya.

Ketukan itu berhenti. Liona kira, akhirnya siapapun orang itu, dia pergi juga. Tapi kemudian, suara itu kembali. Bukan ketukan biasa lagi. Ini ritme yang konsisten, berirama, dan aneh. Suaranya lebih beresonansi, seperti dribble bola basket yang memantul dari lantai teras. Tuk...Tuk…Tuk... Suara itu mengisi rumahnya yang sunyi dengan pola yang tidak biasa, seolah orang di luar sedang bermain basket dengan pintunya.

Perlahan, dengan sisa tenaga yang hampir habis, Liona menyeret tubuhnya dari kasur. Langkahnya sempoyongan, kepala terasa ringan karena kelaparan. Dia berjalan pelan menuju pintu, seperti mendekati sesuatu yang mungkin hanya ilusi. Saat dia sudah berdiri di balik pintu, bayangannya menyapu celah cahaya di bawah pintu, dan saat itulah suara itu terdengar.

“Lion?”

Mata Liona membelalak lebar, hampir tidak percaya. Di dunia ini, hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan potongan nama aneh itu, dengan nada yang khusus. Tapi tidak mungkin. Itu mustahil. Alan tidak pernah tahu dimana rumahnya, dan sosok dingin itu tidak mungkin akan menyempatkan diri datang ke tempatnya. Ini pasti ilusi, akibat dari stres dan kelelahan yang mendalam. Liona memaksakan diri untuk diam, mencoba meyakinkan hatinya yang berdebar kencang bahwa ini hanyalah halusinasinya saja.

Di balik pintu, Alan melihat bayangan yang tiba-tiba menghalangi celah cahaya di kakinya. Sebuah kepastian. “Liona, aku tahu kamu ada di situ,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, dan menggunakan kata "aku-kamu" yang begitu personal, begitu jarang terdengar dari mulutnya.

Lutut Liona hampir saja melengkung. Dunia ini terasa tidak masuk akal. Alan? Bersikap lembut? Menggunakan kata-kata yang hangat? Ini lebih tidak mungkin daripada segala halusinasi yang mungkin diciptakan pikirannya yang lelah. Dia menggoyang-goyangkan kepalanya dengan kasar, mencoba mengusir bayangan itu. Tidak, pikirnya dengan putus asa, ini pasti khayalannya. Karena sudah terlalu stres, sampai membayangkan hal-hal yang ingin kudengar. Dia bersandar ke pintu, merasakan dinginnya kayu di dahinya, berusaha membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Tapi suara itu, dan bayangan di bawah pintu, terasa begitu nyata.

"Kamu beneran mau berhenti suka sama aku? Kamu beneran mau nyerah?"

Liona mendengar suara itu lagi, menggema melalui kayu yang memisahkan mereka. Suara itu terdengar begitu nyata, begitu dekat, seolah Alan benar-benar ada di sana, hanya terhalang beberapa sentimeter kayu.

Pertanyaan itu menghantamnya lebih keras dari tamparan yang dia berikan kepada Alan dua hari lalu. Liona memutar badannya, membalik sehingga kini seluruh punggungnya menempel pada pintu. Tubuhnya yang tak bertenaga itu perlahan-lahan melorot, merosot hingga dia terduduk di lantai yang dingin. Kepalanya menempel pada kayu pintu, matanya terpejam rapat. Ini pasti gila, pikirnya, putus asa. Pikirannya sudah bermain-main, menciptakan suara dan bayangan dari pria yang paling dia rindukan dan paling takut dia hadapi. Air mata panas kembali menggenang di sudut matanya, meski dia pikir sudah tak ada lagi air mata yang tersisa.

Di sisi lain pintu, Alan merasakan getaran samar. Bayangan di celah bawah pintu menghilang, digantikan oleh siluet yang lebih besar yang menunjukkan Liona telah duduk. Tanpa pikir panjang, tubuhnya pun mengikuti. Di anak tangga teratas, ia duduk dengan posisi sedikit miring sehingga dia bisa menatap langsung ke arah daun pintu, seolah-olah pandangannya bisa menembus kayu dan melihat gadis yang sedang bersedih di baliknya.

Suasana hening sejenak, hanya diisi oleh napas mereka berdua yang dipisahkan oleh beberapa daun pintu, namun terasa seperti jurang yang dalam. Alan menunduk, memandangi tangannya sendiri yang diletakkan di atas lutut, sebelum akhirnya memecah kesunyian lagi. Suaranya lebih rendah, lebih dalam, dan kali ini, terdengar sangat, sangat lelah.

Lihat selengkapnya