Sejak kematian ibunya, Alan berubah menjadi pribadi yang semakin tertutup. Meski sejak kecil memang pendiam, di akhir masa SMPnya, ia benar-benar menarik diri dan membatasi pergaulan. Melihat hal itu, ayahnya dilanda kekhawatiran. Ia pun mengambil keputusan sulit, sadar betul bahwa Alan sudah membencinya karena tak pernah memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan mendiang istri. Pilihan untuk menikah lagi setelah dua tahun berlalu bukanlah keputusan yang dibuat dengan gegabah.
Anita, ibu Alice, adalah wanita yang hangat dan lembut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berusaha memahami sikap dingin Alan yang jelas-jelas menolak kehadirannya. Namun, Alice, putrinya dari pernikahan sebelumnya, justru mewarisi watak ayah kandungnya: keras, sombong, dan blak-blakan.
Jika Anita berusaha merangkul Alan dengan perlahan, Alice justru secara terang-terangan mendorongnya menjauh. Ia kerap memancing kemarahan Alan dengan menyoroti kebenciannya terhadap Anita. Atas nama membela ibu yang selalu disakitinya, Alice menggunakan segala ucapan dan tindakan Alan sebagai alasan untuk bersikap semena-mena balas dendam.
Sejak menginjak bangku SMA, Alan memberanikan diri untuk mengajukan permohonan kepada ayahnya: izin untuk hidup mandiri di rumah peninggalan mendiang ibunya. Keinginan itu didorong oleh rasa jenuh yang memuncak, karena ia sudah tidak tahan lagi harus serumah dengan Alice.
Tomi sejatinya memandang permintaan itu sebagai sebuah jalan keluar. Matanya telah lelah menyaksikan istri tercintanya, Anita, terus menerus terjebak di tengah-tengah, berusaha melerai pertikaian kedua anak itu. Disisi lain, ia juga merasa gagal mengendalikan sikap Alice, anak tirinya, yang justru lebih bandel dan sulit dinasehati daripada Alan sendiri. Namun, dibalik itu, sebuah pertanyaan mengusik hati Tomi, dengan mengizinkan Alan pergi, bukankah itu sama artinya dengan ia secara resmi menelantarkan anak kandungnya sendiri? Dilema inilah yang membuat izin itu terus tertunda.
Dan, tanpa ada komunikasi sebelumnya, takdir justru mempertemukan Alan dan Alice di SMA yang sama. Situasi ini membuat Alan bagai keluar dari kandang buaya, hanya untuk masuk ke dalam kandang singa. Jika di rumah mereka bisa leluasa adu mulut dan melontarkan kebencian, di sekolah, segalanya berbeda. Sebuah kesepakatan tak tertulis terbentuk: mereka harus pura-pura tidak saling mengenal.
Sketsa ‘pura-pura tak kenal’ itu bertahan hingga hampir satu semester. Saat Alan mulai kewalahan dengan perhatian membebankan dari para gadis yang terus mendekatinya, dan Alice justru melihat peluang. Ia menyadari bahwa “ketenaran” Alan bisa memanfaatkannya sebagai batu loncatan untuk meraih popularitas dan mendekati kakak kelas yang ia incar.
Dan pada suatu hari, ilusi itu pecah. Alice, dengan sikap sombongnya yang biasa, mendatangi ruang ganti klub basket tanpa permisi. Pintu terbentang dengan kasar oleh dorongan tangannya, dan gadis itu melangkah masuk dengan dagu terangkat tinggi, sebuah sikap sok kuasa yang selalu berhasil memicu amarah Alan hingga ke ubun-ubun.
Tanpa basa-basi, Alice melontarkan tawarannya. "Kita buat kesepakatan. Gue bikin lu bisa dapet izin dari papa buat tinggal sendiri," ujarnya dengan suara lantang, mengacuhkan kenyataan bahwa di ruang sempit itu bukan hanya Alan yang sedang memindahkan baju kotor ke dalam tas olahraganya. Dany, sang kapten tim, sedang dalam proses mengenakan seragamnya, bajunya baru separuh terpakai, membuat perutnya terekspos jelas.
Tak peduli dengan pemandangan itu, Alice melanjutkan dengan nada penuh tuntutan, "Dan sebagai balasannya, lu harus bikin gue jadi cewek paling populer di sekolah ini!"
Suasana ruang ganti yang tadinya memang sudah sepi mendadak membeku. Alan mematung, sehelai kaos masih tergenggam di tangannya. Matanya menyipit, memandangi saudara tirinya yang berdiri di ambang pintu dengan sikap terlalu percaya diri. Sementara Dany hanya bisa ternganga, tangan yang sedang mengancingi bajunya terhenti di tengah jalan, wajahnya mencerminkan campuran rasa heran dan tidak percaya atas kelancangan gadis itu.
Dan, dalam keanehan yang nyata, Alan menerima kesepakatan itu.
Maka berlangsunglah skenario yang mereka rancang. Berkat "peran" Alice, Alan akhirnya mendapatkan izin untuk tinggal sendiri di rumah peninggalan ibunya. Sebagai imbalannya, di hadapan publik sekolah, Alan dengan setia memainkan perannya: ia selalu menunjukkan perhatian khusus kepada Alice, memposisikannya sebagai gadis yang tak tertandingi. Dialah satu-satunya yang boleh berada di sisi Alan, satu-satunya yang mendapat senyum dan waktunya, seolah tak ada perempuan lain yang layak untuknya.
Yang mengejutkan, seiring waktu berjalan, topeng yang awalnya dipaksakan itu justru meleleh. Kebencian sebagai dua orang asing berangsur berubah menjadi sebuah ikatan persaudaraan yang lebih kuat dari yang pernah mereka bayangkan. Mereka menyadari kesamaan sifat mereka, cara komunikasi mereka yang blak-blakan dan tanpa kepura-puraan justru membuat keduanya merasa bisa sepenuhnya menjadi diri sendiri dihadapan satu sama lain. Meski pertengkaran sesekali dan rasa jengkel yang kadang muncul masih ada, pada akhirnya, mereka benar-benar tumbuh menjadi saudara, bukan karena paksaan peran, tetapi karena pemahaman yang lahir dari kebersamaan mereka.
Sementara Alan menyetir mobilnya menuju restoran pilihannya untuk membawa Liona makan malam, Liona di sampingnya tenggelam dalam lamunan. Kepalanya menempel di kaca jendela, matanya kosong, bibirnya terkatup rapat. Sesekali kepalanya terangkat lalu kembali jatuh menempel pada kaca, berulang kali membuatnya terlihat seperti menjedotkan kepala sendiri dengan lembut. Dalam hati, dirinya merasa begitu konyol.