BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #33

33. Sketsa yang Penuh Celah

Yang terjadi kemarin begitu mempesona, bagai sekeping mimpi utuh yang terjatuh ke dalam kenyataan. Setiap rincian kejadian itu terukir jelas dalam benak Liona: kejujuran yang membara di mata Alan, kata-kata pengakuan yang keluar dengan penuh keyakinan meski suaranya sedikit gemetar, serta kejelasan status hubungan mereka yang tiba-tiba berpijak pada pondasi baru. Bahkan makan malam sederhana berubah menjadi sebuah simfoni rasa, setiap suapan terasa penuh makna, diiringi senyum-senyum kecil dan pandangan-pandangan berbicara yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.

Sesampainya di kamar, luapan kebahagiaan itu tak terbendung lagi. Liona melemparkan tubuhnya ke atas kasur, wajahnya menyembul di balik bantal sebelum akhirnya ia berguling-guling tak tentu arah. Kedua kaki langsingnya dihentakkan berulang kali ke udara, sementara suara jeritan kegirangan tertahan keluar dari kerongkongannya, karena ia membekap mulutnya dengan bantal. Dadanya naik-turun tak beraturan, dihantam degupan kencang yang berirama cepat bagai drum yang dipukul tak terkendali. Ia bahkan sempat khawatir, jangan-jangan jantungnya yang berdebar kencang itu akan meledak atau membuatnya pingsan akibat luapan emosi yang begitu dahsyat.

Perasaan itu bagai mengangkatnya melayang tinggi, melintasi awan-awan empuk yang berarak di langit berwarna peach dan lavender. Dunia terasa begitu sempurna, seperti adegan dalam dongeng yang ia baca sewaktu kecil, dimana segala sesuatu berakhir bahagia. Namun, tiba-tiba, sebuah kesadaran menusuk bagai jarum suntik yang dingin.

Esok harinya, ia harus kembali ke realitas. Menjadi Liona si Asisten Manajer yang profesional, berdiri di hadapan Alan bukan sebagai kekasih, tetapi sebagai bawahan. Bagaimana mungkin ia menatap mata itu tanpa membuat dirinya tenggelam dalam kenangan manis kemarin? Bagaimana menghadapi Dany, yang ia hindari beberapa hari terakhir akibat kekalutan hatinya?

Wajahnya yang semula berseri mendadak memucat. Bayangan lapangan basket, rekan-rekan setim Alan, serta para asisten manajer lain yang penuh dengan intrik kecil, semuanya berkelebat membentuk gambaran yang mencemaskan. Napasnya kembali tersengal, namun kali ini bukan karena girang, melainkan karena serbuan kecemasan yang tiba-tiba. Sebuah rasa minder yang dalam merayap pelan, mendinginkan setiap uratnya yang tadinya hangat oleh euforia. Ia membayangkan tatapan penilaian, bisik-bisik di belakang, dan ekspektasi yang tiba-tiba terasa begitu berat untuk dipikul. Dunia dongengnya yang baru saja dibangun, dalam sekejap, retak oleh bayangan rutinitas yang akan segera menyapunya kembali.


Dengan terburu-buru Liona memarkirkan motornya di garasi rumah Alan. Langkahnya mantap masuk ke dalam rumah, tanpa ragu, langsung menyisir ruangan dan mencari keberadaan kekasih hatinya itu.

“Liona?”

Suara itu turun dari atas, menghentikan pencariannya. Alan berdiri di tengah tangga, tubuhnya hanya dibalut kaos dan celana training sederhana. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang mengilat di bawah lampu yang masih menyala, membasahi keningnya. Aroma sabun yang segar masih terbawa udara, tanda ia baru saja keluar dari kamar mandi.

Jantung Liona berdegup kencang. Ia segera melesat menaiki anak tangga, pertemuan mereka terjadi di tengah, sebuah titik temu simbolis di antara dua dunia mereka yang kini berbeda. Kata-kata yang sudah ada diujung bibir Liona untuk diucap, tertahan sejenak karena perhatiannya teralih ke luka di bibir Alan yang mulai kelihatan samar.

“Udah mendingan,” Tangan Liona terulur menyentuh perlahan bagian yang terluka itu. Sentuhannya sangat lembut, bagai menyentuh sayap kupu-kupu, khawatir akan memperparah atau membuat Alan merasa perih. "Masih sakit?" suaranya bergetar penuh perhatian.

Alan menggeleng, senyum kecil mengembang di sudut bibirnya yang tidak terluka. Tangannya bergerak untuk menangkap dan menggenggam tangan Liona, namun dengan refleks yang cepat, gadis itu menariknya kembali, menjatuhkan tangan itu ke samping tubuhnya. Sebuah penghindaran yang disengaja dan terlihat jelas.

Sorot mata Alan berubah. Kedipannya lebih dalam dan cepat, menganalisa setiap garis ragu dan cemas yang terbaca di wajah Liona. Sebuah bayangan kekhawatiran yang pekat mulai menyelimuti tatapannya.

“Aku boleh minta sesuatu?” suara Liona memecah kesunyian yang mulai tegang.

Alan langsung mengangguk patuh, seolah siap menyetujui apa pun.

“Jangan kasih tahu dulu ke Dany, atau siapa pun,” pinta Liona. Tubuhnya yang lebih pendek dan posisi berdirinya yang di anak tangga lebih bawah dari Alan membuatnya harus sedikit mendongak, mendelik dengan manja namun penuh tekad. "Tentang... hubungan kita," tambahnya, mempertegas.

Alan mengerjapkan matanya, sedikit terkejut. Namun, tidak ada penolakan yang muncul. Daripada berspekulasi, ia memilih jalur langsung. "Kenapa emangnya?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh keingintahuan.

Liona menggigit bibirnya. Matanya melirik ke sekeliling ruang kosong di bawah, memastikan Dany belum muncul, sebelum kembali menatap Alan. "Gimana juga, aku kan asisten manajer kamu," bisiknya, suaranya rendah dan berhati-hati. "Lagi pula, semuanya terlalu mendadak. Aku... kita butuh nyesuain diri. Semuanya harus pelan-pelan."

Ekspresinya campuran antara harapan dan kecemasan, memohon pengertian dari pria yang berdiri hanya beberapa jengkal di atasnya.

Bibir Alan mengerucut sedikit, ia agak heran ucapan seperti ini keluar dari mulut gadis yang kemarin menjerit sambil memutari area parkir karena kegirangan menjadi pacarnya. Pun tak sepenuhnya mengerti apa yang Liona khawatirkan. Ini adalah pengalaman pertamanya menjalin hubungan, dan nalarnya menyadari bahwa mengedepankan logika ketat terhadap seorang perempuan yang jelas-jelas digerakkan oleh perasaan adalah langkah yang ceroboh. Daripada mempertanyakan, lebih baik ia mengikuti arus permintaannya untuk sementara. “Oke, sampai kapan?” tanyanya kemudian. Ia butuh sebuah patokan, sebuah tenggat yang jelas untuk permainan ‘pura-pura’ yang menurut firasatnya akan cukup menantang ini.

Lihat selengkapnya