BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #34

34. Gagal Dalam Sehari

Begitu mobil berhenti tepat di depan pagar rumah, udara yang semula mencekam dalam kabin seakan menemukan katup pelepasnya. Alan langsung membuka pintu dan melangkah keluar dengan gerakan kasar, tanpa sepatah kata pamit atau sekadar tatapan penjelasan. Tasnya dijinjing dengan cengkraman kuat, lalu tubuhnya menghilang di balik pagar bagai siluman yang ditelan bayang-bayang sendiri, meninggalkan keheningan yang semakin pekat.

Liona terpana sesaat, sebelum akhirnya memaksakan senyum kaku ke arah Dany. Senyum yang tidak sampai ke matanya, tegang, dan dipenuhi rasa bersalah. Dari sudut matanya, ia tahu Dany sudah mengawasi situasi sejak tadi, mencerna setiap rinci ketegangan yang memenuhi mobil seperti kabut racun sepanjang perjalanan.

"Dany, gue duluan ya," ucap Liona terbata-bata, tangannya sudah meraba gagang pintu.

Dany hanya membalas dengan anggukan singkat. Ekspresinya dijaga tetap datar, seolah tak terganggu oleh drama yang baru saja terjadi. Tapi begitu Liona turun dan berlari kecil mengejar Alan, menyusul masuk ke dalam rumah, barulah topeng itu terlepas.

Begitu pagar tertutup dan kedua figur itu lenyap dari pandangannya, perubahan drastis terjadi pada wajah Dany. Ekspresinya yang semula tenang dan berwibawa berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap. Bibirnya yang terkunci erat kini mencibir dengan pedas, sudut matanya menekuk dalam kesal yang tak terbendung. Nafasnya keluar dalam hembusan panjang berisi kekesalan yang dipendam sejak tadi.

"Dasar si-Alan!" gumamnya melalui menggertakan gigi, memadukan nama Alan dengan umpatan yang nyaris meledak. Kesabaran yang dibangunnya selama di mobil akhirnya runtuh. Ia teringat pada Liona yang duduk di sampingnya, tetapi sepanjang jalan hanya sibuk dengan kecemasannya sendiri, badannya bergerak resah, matanya terus melirik ke kursi belakang tempat Alan duduk dengan muram. Liona mungkin mengira sikapnya tak kentara, tetapi bagi Dany, setiap gelisah itu terpancar jelas bagai lampu neon di kegelapan. Dan ia, yang duduk di sampingnya, merasa seperti hantu yang tak terlihat.

Di dalam kesendiriannya sekarang, Dany mengumpat kesal ke tingkah Alan yang jelas-jelas sedang merajuk karena diacuhkan oleh Liona sepanjang hari ini. Tingkah yang mungkin menggemaskan bagi orang lain, namun memuakkan baginya. Sedikit karena cemburu, banyaknya karena tak habis pikir seorang Alan bisa menunjukkan sisi rentan yang kekanakan begitu. Membuat Dany bergidik geli.

“Udah waktunya gue nyari kerjaan lain, nih!” gerutunya, memutar kemudi dan meninggalkan area rumah Alan.


Pintu rumah tertutup dengan pekik ringan, memutuskan hubungan dengan dunia luar dan meninggalkan Liona berhadapan dengan suasana yang jauh lebih mencekam daripada di dalam mobil. Dengan langkah terburu-buru yang dibuatnya sesedikit mungkin berisik, ia menyusuri ruangan, mengejar bayangan Alan yang telah mendahuluinya.

Dia menemukan pria itu sudah duduk di sofa. Posisinya tak santai, melainkan tegap dan dingin, seperti seorang raja yang murka di atas singgasananya. Sofa yang mulai terasa hangat karena menyimpan kenangan indah yang Alan kira mimpi itu, kini berubah menjadi layaknya pulau terpencil yang dingin dan sulit Liona jangkau.


Liona mendekat dengan hati-hati, bagai menginjak pecahan kaca. Kakinya, yang jelas tak sepanjang langkah Alan, terasa berat dan tertatih-tatih. Ia berhenti beberapa langkah di depan Alan, tak berani menduduki ruang kosong di samping pria itu. Perasaan bersalah menggerogotinya dari dalam.

Di matanya sendiri hari ini, ia sudah terlalu keterlaluan. Bagaimana di mata Alan? Bagi seorang perempuan yang telah mengejar cintanya selama enam tahun panjang, sikapnya hari ini terasa seperti pengkhianatan terhadap kesungguhan hati yang selama ini ia pertahankan.

Bibit kekacauan ini mulai tumbuh sejak latihan tadi pagi. Biasanya, Liona akan menjaga jarak aman dari Jeremy, menghindari kontak dan percakapan yang tidak perlu. Namun hari ini, dengan sebuah kepercayaan diri baru yang mungkin naif, ia merasa Jeremy tidak lagi menjadi ancaman yang harus diwaspadai secara berlebihan. Lagi pula, berkat Jeremy, ia mengetahui fakta-fakta yang mungkin selamanya akan tersembunyi. Sisi bersahabat dan keramahan Jeremy kini terasa lebih tulus, meski sifat genitnya tetap melekat. Dan Liona, yang secara diam-diam telah menyandang status baru sebagai kekasih Alan, merasa dirinya kebal. Tidak akan goyah, pikirnya percaya diri. Dia yakin bisa menempatkan batasan yang jelas jika Jeremy mulai melampaui garis. "Maaf, gue udah punya pacar," kalimat itu sudah siap di ujung lidahnya, meski tanpa menyebut nama Alan.

Namun, keyakinannya itu justru menjerumuskannya. Kekhawatirannya untuk tidak terlihat mencurigakan dengan Alan dan orang lain justru membuatnya bertindak berlebihan dalam bersikap "wajar". Alih-alih terlihat alami, yang ia tunjukkan adalah sebuah pementasan kaku di mana ia dengan sengaja menghindari untuk memperhatikan Alan, tugas paling mendasar dari seorang asisten manajer yang seharusnya.

Lihat selengkapnya