Dalam hati, Liona merasa lega. Pakai kacamata dan masker ternyata keputusan yang tepat.
"Kamu kenapa nih?" tanya Tania, asisten manajer Rokky, sambil menatapnya penuh selidik.
"Lagi enggak enak badan," jawab Liona singkat.
Dia tahu penampilannya hari ini memang tidak biasa. Kacamatanya sederhana, bingkai pink dengan lensa bening, tapi dikombinasi dengan masker hitam di dalam stadion yang pengap dan dipenuhi penonton, jelas terlihat aneh. Apalagi hampir tiap kali dia bernafas agak panjang, kacanya langsung berembun, membuatnya harus mengelap lagi dan lagi.
Tapi ini satu-satunya cara agar dia bisa leluasa menatap Alan. Dari balik kacamata dan masker, dia bisa tersenyum puas, menggigit bibir, atau meringis gugup tanpa terlihat. Dia bisa berdiri di pinggir lapangan dan mendukung Alan sepenuh hati, dan Alan bisa tahu dia ada di sana, tanpa drama seperti kemarin.
Memang, di mata orang lain, dia terlihat seperti orang aneh. Tapi demi bisa menyaksikan pria yang sangat dicintainya bertanding di semifinal piala nasional, sedikit rasa tidak nyaman itu sungguh sepadan.
Dengan ini, Liona bisa leluasa dalam kekagumannya. Di tengah lapangan, Alan seperti menyala. Sebagai kapten tim, aura kepemimpinannya terpancar kuat. Seragam tim yang sebenarnya biasa saja, tak berbeda dengan jersey basket lainnya, di tubuhnya terlihat gagah. Kulitnya yang putih cerah kontras dengan warna seragam, membuatnya mudah terlihat bahkan dari kejauhan.
Tapi yang paling membuat Liona terpana adalah matanya. Mata itu berbinar tajam, penuh semangat dan konsentrasi. Setiap kali Alan memberi instruksi, mengangkat tangan, atau sekadar melambaikan tangan pada suporter, Liona merasa jantungnya berdetak kencang. Membuat batinnya menjerit. Dia benar-benar seperti disihir, tak bisa memalingkan muka.
Dan yang bikin Liona makin dimabuk kepayang adalah, di sela-sela pertandingan yang menegangkan, Alan sesekali menoleh ke arahnya. Bagi orang lain, itu mungkin hanya sekilas pandang biasa dari seorang kapten yang memindai pinggir lapangan. Tapi bagi Liona, yang matanya seperti terpaku pada setiap gerak-gerik Alan, ia bisa melihat perbedaannya. Ada sorot mata yang lebih lembut, dan ujung bibir yang sedikit terangkat, membentuk senyum samar yang hanya bisa dia tangkap. Itu adalah kode rahasia mereka. Sebuah ucapan "Makasih kamu ada disana" dan "Aku senang kamu disana" yang disampaikan tanpa kata.
Setiap kali tatapan mereka bertemu, meski hanya sepersekian detik, Liona langsung menggigit bibirnya di balik masker, berusaha menahan senyum lebar yang ingin merekah. Kacamatanya kembali berembun karena nafasnya yang tiba-tiba tersengal. Kasmaran. Jatuh cinta lagi dan lagi pada Alan.
“Liona? Lu kenapa?” tanya Dany yang baru saja tiba terburu-buru karena harus bimbingan di kampus pagi tadi.
Liona menoleh sepersekian detik, lalu langsung menatap ke lapangan lagi. “Nggak enak badan,” jawabnya template, seperti rekaman yang diputar ulang.
Refleks, tangan Dany terulur untuk mengecek suhu dahi Liona. “Lu demam?”
“Jangan!” Liona menghindar dengan gerakan cepat, hampir seperti orang takut terinfeksi virus berbahaya. Matanya langsung menyapu ke arah Alan, jantungnya berdebar kencang. Untunglah! Alan sedang asyik berdiskusi dengan pelatih, punggungnya menghadap ke mereka. Dia menghela nafas lega yang terdengar jelas.
Di hadapannya, raut wajah Dany berubah drastis. Ekspresi khawatirnya luruh, digantikan oleh kekecewaan dan sedikit kesal yang tak bisa disembunyikan.
Liona menatap Dany sekali lagi, matanya berkilat dengan tekad. "Dan, kita perlu ngobrol sebentar," ujarnya akhirnya, melemparkan pandangan sekali lagi ke arah lapangan, sebelum menuntun Dany menyusuri lorong keluar arena.
Suara gemuruh sorak penonton perlahan memudar di belakang mereka. Sepanjang jalan, hati Liona berdebar-debar. Dia ingat percakapan pagi ini dengan Alan. Dia sudah meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Dany, menjelaskan status hubungan mereka secara langsung. Alan mengangguk setuju, tapi sifat cemburuan pacarnya itu membuat Liona tetap was-was. Jangan-jangan nanti dia merajuk lagi, pikirnya khawatir.
Mereka berhenti di samping gedung, di sebuah spot yang menghadap lapangan rumput hijau yang diterangi matahari terik yang langka di musim penghujan.
"Jadi akhirnya sekarang lu mau kasih tahu gue?" tanya Dany, menyilangkan tangannya di dada. Ekspresinya masih kesal, tapi ada sedikit kelegaan bahwa akhirnya Liona membuka mulut.
"Sorry, Dan," Liona membuka topik dengan permintaan maaf, matanya tertunduk. "Lu... udah tau kan, kalau gue dan Alan... kita jadian?" ujarnya, kemudian mengangkat muka dengan hati-hati, mengintip ke pandangan Dany
Dany menghela napas panjang, ekspresi kesalnya perlahan mencair. "Ya iya, tau dong. Dari kemarin keliatan banget. Cuma..." dia menjatuhkan tubuhnya ke tembok, "yang bikin gue kesel, gimana pun juga kita kan temen. Apa yang bikin lu takut nunjukin hubungan kalian depan gue. Karena gue pernah nembak lu?"
"Masalahnya ada di gue, bukan cuma lu, gue bahkan minta Alan buat nutupin ke siapapun tentang hubungan kita." Ia menunduk lagi, kini menatap ujung sepatu kets-nya. “Ya meskipun kalau boleh jujur, gue juga gak enak sama lu, karena salah satunya yang barusan lu bilang tadi.” Ucapannya berputar-putar karena rasa tak enak yang menggelayuti hatinya. “Tapi bisa dibilang, gue cuma...minder.” Tutupnya, mengakui sesuatu yang bahkan tak ia akui di depan Alan.
Dany memandangnya lama, lalu melemparkan pandangan ke langit biru yang cerah. “Ah,” keluhnya, seolah baru memecahkan teka-teki. “Jadi gini rasanya jadi orang ketiga.”