“Hah?” Pekik Andin di seberang telepon, suaranya nyaris menyembur dari speaker. “LU SERIUS PACARAN SAMA ALAN? ALAN?!”
Liona meringis, menjauhkan ponsel sejenak dari telinganya yang berdenging. “Iya, Din. Udah… udah dua minggu lebih,” akunya, suara setengah bergetar antara grogi dan lega akhirnya mengatakannya.
“DUA MINGGU?!” Teriak Andin, volume suaranya naik dua oktaf.
“Iya, Din, tolong jangan teriak-teriak lagi!” pinta Liona, separuh memohon. “Kuping gue cenat-cenut!”
“Liona,” ucap Andin tiba-tiba berubah jadi pelan dan serius, membuat suasana mencekam. “Lu nggak lagi berhayal kayak dulu kan?”
BRUUK! GEDEBUK!
Bukan hanya kata-kata Andin yang seperti petir, sebuah bunyi gemuruh nyata menggelegar di dalam rumah Liona, jauh lebih keras daripada guntur di luar. Liona terlonjak dari tempat tidurnya, jantungnya berdebar kencang.
“Apaan tuh? Liona? LO BAIK-BAIK AJA?” teriak Andin dari ponsel yang sekarang tergenggam erat di tangan Liona.
Liona tidak menjawab. Dia membeku di ambang pintu kamarnya, mulutnya terbuka lebar. Matanya menyapu ruang tamu yang berantakan dan, yang atapnya yang ambrol. Hujan kini mengucur deras seperti air terjun mini langsung ke tengah ruang tamunya. Air sudah dengan cepat menggenangi lantai, menyapu karpet tua dan membasahi semua perabotan yang ada. Kursi kayu yang sudah reot terendam, air merembes pelan namun pasti ke ruangan lain, mengancam segala sesuatu yang dilewatinya.
Dengan tatapan kosong, Liona berbisik pelan ke ponsel, “Din… atap rumah gue jebol.”
“HAH? JEBOL? SERIUS? Yaampun, Lio…” suara Andin berubah drastis dari penuh curiga menjadi penuh keprihatinan. “Gue kesana sekarang! Lu tunggu!”
Sementara Andin masih berbicara, Liona perlahan menjatuhkan diri berjongkok di lantai. Dia memeluk lututnya, memandangi banjir yang semakin meluas di rumahnya yang kecil dan sederhana ini. Rasanya seperti dunia sedang mengingatkannya dengan keras. Di satu sisi, ada kebahagiaan luar biasa dengan Alan yang masih terasa seperti mimpi. Di sisi lain, ada realita getir ini: atap yang bocor, rumah yang bobrok, dan betapa rapuhnya hidupnya. Ini adalah bagian paling menyedihkan dari menjadi miskin, ketika bencana kecil terasa seperti akhir dunia karena tidak ada cadangan untuk memperbaikinya. Air mata akhirnya menetes, bercampur dengan percikan air hujan yang menerobos masuk, menyamarkan rasanya yang pahit.
Dua jam kemudian, Liona berdiri di depan pintu rumah Alan, dengan bajunya yang hampir lepek. Melirik ke arah Andin yang berdiri di sampingnya, dengan lirikan kesal campur pasrah.
Ia merasa wajar kalau Andin tak langsung percaya bahwa dirinya sekarang pacaran dengan Alan, tapi tak berpikir kalau sahabatnya ini sampai butuh validasi nyata atas keraguannya itu.
Dia memang dengan sigap menjemput Liona di rumahnya, dan jelas Liona kira Andin akan membawanya ke rumahnya sendiri. Tapi ternyata sahabatnya ini malah minta diarahkan ke rumah Alan. Waktu Liona menolak, ia menekankan kalau dia butuh melihat dengan mata kepalanya langsung kalau Liona tak sedang berkhayal, dan sekalian, kalau memang Liona dan Alan berpacaran, menurutnya, suatu alasan baik mengantar Liona menginap di rumah Alan.
“Ayo, pencet! Nanti lu makin kedinginan!” desak Andin.
Liona menyeringai kesal, tapi tak punya pilihan lain selain mengangkat tangan dan mengarahkannya ke arah bel di samping pintu rumah Alan. Ini pertama kalinya dia menekan bel rumah ini lagi setelah sebelumnya bebas keluar masuk karena memiliki kunci cadangan.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Alan yang berdiri di hadapan mereka membelalak kaget melihat Liona yang basah kuyup. “Yaampun, Liona!” pekiknya buru-buru mendekat. “Kamu kenapa, Sayang?” Ia merengkuh bahu Liona.
“S-Sa-Yang?” gumam Andin ternganga, matanya membelalak seperti baru melihat unicorn, kejadian di depan matanya hampir setara dengan kisah mitologi. Kata panggilan mesra itu, diucapkan dengan begitu natural oleh Alan, seperti tamparan realita yang manis. Dia menyaksikan langsung bagaimana Alan memandang Liona dengan tatapan penuh kasih yang tak mungkin dipalsukan. Seorang Liona, yang selama bertahun-tahun ia saksikan cinta bertepuk sebelah tangan tanpa harapan, kini berada dalam pelukan Alan dan dipanggil sayang.
Andin mendadak linglung.
"Rumahku... atapnya jebol," jelas Liona pelan, menunduk malu. Mengatakannya kepada Alan, yang hidupnya serba berkecukupan, membuatnya merasa semakin kecil.
“Ha? Jebol? Kok bisa?” tanya Alan bingung. Kata-kata ‘atap jebol’ terdengar asing dan aneh baginya. Sesuatu yang selama ini hanya ia lihat dalam berita.
Melihat Liona diam saja sambil gemetar, Alan langsung menariknya ke dalam pelukan hangatnya, mengusap-usap punggung gadis itu. “Yaudah sekarang masuk dulu, ganti baju kamu.” Ia kemudian menoleh ke Andin. “Lu. Siapa nama lu? mau masuk?”
Andin melongo, Alan bahkan tak tahu namanya. "Andin," jawabnya, masih sedikit syok. "Nggak, nggak usah. Gue langsung pergi aja." Dia menggeleng cepat, seperti baru tersadar kalau keberadaannya sudah tak diperlukan lagi.