Pagi yang cerah di ruang tamu Alan terasa hangat dan tenang. Liona sedang bersandar di pelukan Alan, menikmati obrolan ringan sambil menyeruput teh hangat. Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbanting terbuka menggelegar, diikuti langkah kaki terburu-buru yang menghampiri mereka.
Dany muncul dengan napas tersengal, rambutnya agak berantakan, dan matanya lebar penuh kepanikan. Wajahnya pucat, sama sekali tidak seperti biasanya.
Liona yang dahinya tengah dikecup oleh Alan langsung melonjak, tubuhnya refleks merosot jauh ke sudut sofa seperti anak ketakutan. Pipinya memerah karena malu ketahuan sedang bermesraan. Alan sendiri duduk tegak, ekspresi rileksnya langsung berganti menjadi waspada.
"Dan? Ada apa?" tanya Alan, suaranya datar namun tajam.
Dany tidak langsung menjawab. Matanya melirik cepat ke arah Liona yang sedang berusaha menyembunyikan wajahnya, lalu kembali ke Alan. Nafasnya masih berat.
"Alan, kita perlu ngomong. Sekarang. Berdua aja," pinta Dany, suaranya serak dan penuh tekanan. Ia bahkan tidak sempat mengomentari posisi mesra mereka berdua, sesuatu yang sangat tidak biasa bagi Dany, karena biasanya di depan Dany mereka menjaga sikap dan lebih kaku.
Liona merasa dadanya sesak. Bukan karena cemburu atau tersinggung, tapi karena ia bisa melihat dengan jelas, ada sesuatu yang sangat salah. Panik di mata Dany terlihat nyata dan mengkhawatirkan.
Alan mengangguk pelan, lalu menoleh ke Liona. "Kamu tunggu di sini ya," bisiknya lembut sebelum bangkit dan mengikuti Dany yang sudah berjalan cepat ke luar rumah.
Liona hanya bisa mematung, mendengar langkah mereka menjauh sambil hatinya berdebar-debar kencang. Suasana hangat pagi itu seakan runtuh dalam sekejap, digantikan oleh firasat buruk yang tiba-tiba menyelimuti ruangan.
Begitu pintu ruang kerja terkunci rapat, Alan langsung bersandar di meja kerjanya, tangan mengepal. "Ada apaan Dan? Lu panik banget."
Dany masih terengah-engah. Dengan jari yang gemetar, ia membuka aplikasi media sosial di ponselnya dan menyerahkannya ke Alan. "Baca sendiri. Ini udah viral."
Alan menyambar ponsel itu. Matanya menyempit melihat foto yang jelas diambil diam-diam dari kejauhan: dirinya dan Liona bergandengan tangan di depan pagar rumahnya kemarin sore. Meski dari belakang, wajah Liona yang tertawa jelas terlihat. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
Captionnya lebih menghantam: "Pebasket top Alan Rahardian ternyata pacaran dengan asisten manajernya! Katanya profesional, tapi tinggal serumah padahal belum nikah. @TurquoiseBasketball cobain lihat nih."
Komentar-komentar pedas bertebaran. Ada yang menyebut Liona "penggoda", ada yang meragukan profesionalitasnya, bahkan ada yang menghina latar belakang keluarganya yang sederhana.
"Berapa lama Liona nginep di sini?" tanya Dany suara rendah. Ia tahu kalau pasangan ini menyembunyikan fakta ini darinya sebagai salah satu upaya menjaga perasaannya.
"Seminggu," jawab Alan pendek, matanya masih tertancap di layar. "Rumahnya ambruk, Lagi direnovasi. Bukan karena... alasan lain." Ia menekankan kata terakhir, ingin meluruskan narasi kotor yang beredar.
Dany menghela nafas panjang. "Gue tahu, Lan. Tapi yang lihat postingan ini nggak akan peduli alasan sebenarnya. Mereka cuma mau gossip." Ditunjukkannya beberapa komentar yang khusus menyasar Liona. "Ini bisa bahaya buat Liona. Bukan cuma buat karier lu."
Alan menutup matanya. Darahnya mendidih. Yang ia pikirkan bukan kontraknya, bukan sponsor, tapi Liona. Gadis yang sudah begitu berjuang untuk berdiri di dekatnya. Kini orang-orang menghujatnya tanpa tahu apa-apa.
"Gue harus lindungin Liona," desisnya, membuka mata dengan tekad bulat. "Sebelum dia lihat ini."
Tepat di saat itu, ketukan pintu terdengar pelan.