Sebulan kemudian…
Dari pinggir lapangan Dany mengawasi, dahinya berkerut, matanya cemas. Alan yang berlarian di tengah lapangan itu, bukan Alan yang dia kenal. Makin hari, pria itu makin kelihatan asing.
Alan memang selalu dingin, tak peduli dengan orang lain, keras kepala, dan ketus saat berbicara. Tapi aura pria ini makin gelap, setelah kepergian Liona, setelah dia bersikeras tak ingin mencari gadis itu, dan berkata. “Biarin aja, toh dia yang memilih pergi.” Seakan tidak peduli, tapi makin hari kelihatan makin hancur karena patah hati.
Karirnya kembali menanjak karena Turquoise berhasil menang di pertandingan final dan berhasil membawa trofi tingkat nasional. Berita-berita miring menyangkut kisah cintanya, tertimbun oleh prestasinya yang melambung tinggi. Sponsor datang dengan sendirinya, job Alan mendadak bahkan lebih banjir daripada sebelum skandalnya mencuat Tapi kemenangan itu terasa hampa, ketenaran itu pahit, Alan bekerja siang dan malam tanpa terlihat lelah, tapi di matanya sama sekali tak ada sorot mata bahagia, ia mirip robot yang bergerak tanpa nyawa.
Berkali-kali Dany meminta Alan libur barang sehari, karena sejujurnya dia juga lelah menemani Alan kesana-kemari selama sebulan penuh. Tapi pria itu sama sekali tak mengindahkan sarannya, dia bersikukuh kerja dan malah bilang tak perlu ditemani.
Akhirnya, Dany yang frustasi coba curhat ke Alice untuk meminta pendapat, dan menurut Alice hanya ada satu orang yang bisa membantu Alan keluar dari keterpurukannya itu. Seseorang yang nasehatnya akan langsung diterima Alan tanpa bantahan. Seseorang yang tak bisa Alice hubungi sendiri, jadi akhirnya Dany memberanikan diri untuk menghubungi orang itu. Nenek Alan dari pihak ibu, yang selama ini tinggal di Inggris. Dan barusan, ponsel Dany bergetar. Sebuah notifikasi masuk, nenek Alan itu mengabarkan sudah sampai di bandara. Kebetulan yang ajaib, karena dia ada urusan di Jakarta.
***
"Oma?!"
Suara Alan terdengar nyaris seperti teriakan anak kecil, penuh dengan rasa tak percaya yang menyentuh. Enam tahun. Sudah enam tahun lamanya ia tidak bertemu langsung dengan neneknya, wanita yang dulu sering menggendongnya kecil. Terakhir kali mereka berpelukan adalah saat Alan memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah ini, sebuah keputusan yang disetujui Oma Dewi dengan berat hati, karena dia sudah memutuskan lebih dulu untuk pindah bersama dengan anak bungsunya di Inggris.
Maka, bayangkan betapa terkejutnya Alan ketika, begitu melewati pintu rumahnya yang biasanya sepi, ia langsung disambut oleh sosok yang sangat dirindukannya duduk tegak di sofa ruang tamu. Untuk sesaat, Alan seperti membeku di tempat, tas olahraganya hampir terjatuh dari genggaman.
Dewi segera membuka lengannya, matanya berbinar. "Cucuku! Sudah besar sekali!" serunya, suaranya hangat dan bergetar haru.
Alan segera melangkah cepat dan nyaris terjatuh ke pelukan neneknya. Ia membenamkan wajahnya di bahu wanita tua itu, menghirup wangi khas yang membawa begitu banyak kenangan. Tubuh tingginya yang atletis tiba-tiba terlihat begitu kecil dan rapuh dalam pelukan Oma Dewi.
"Kok Oma nggak bilang-bilang mau datang?" tanya Alan saat akhirnya mereka melepaskan pelukan. Suaranya lebih lembut, lebih tinggi, seperti nada yang ia gunakan saat masih remaja. Ia duduk sangat dekat di samping neneknya, memegangi tangannya. Matanya berbinar, terus memandang wajah neneknya seolah takut wanita ini akan menghilang jika ia berkedip.
Dewi tersenyum lembut, menepuk-nepuk punggung tangan Alan yang menggenggam erat tangannya. "Oma mau kasih kejutan. Lagipula, sepupumu, anaknya Om Vino, mau menikah akhir minggu ini. Kebetulan sekali, kan?"