BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #40

40. Konsisten Tidak Mampu

"AAAAAAAK! IBU! TOLONG! AYAMNYA GILA NIH!"

Liona berlari pontang-panting di dalam kandang ayam yang luasnya setengah lapangan bola. Kemeja kotak-kotaknya yang tidak dikancingkan terlepas sebelah, tergantung di lengannya yang bergerak panik. Baju putihnya yang semula bersih kini dipenuhi coreng-moreng tanah lembap, sementara celana selututnya penuh dengan bulu ayam yang menempel seperti hiasan yang tidak diundang. Topi jeraminya yang lebar terayun-ayun di punggungnya, memantul mengikuti setiap hentakan langkahnya yang kacau.

Dia berputar-putar seperti tikus yang dikepung, sementara seekor ayam dengan mata penuh tekad mengejarnya dengan gagahnya. Padahal tujuan hanya sederhana, mengumpulkan telur untuk dijual.

Di pagar kandang, Ibu Liona, Bibi Sari, dan sepupunya, Tantri, sudah menahan perut mereka yang sakit karena tertawa. Pemandangan ini menjadi tontonan wajib setiap pagi selama sebulan terakhir, dan hiburan mereka belum pernah mengecewakan.

"Liona, daripada stress begitu mending balik aja ke kota!" teriak Tantri sambil memegang kamera ponselnya, mengabadikan momen memalukan ini untuk arsip keluarga.

"Bener! Daripada jadi bahan ketawaan kita tiap hari, mending balik ke cowok kaya rayamu itu! Biar hidupmu enak, nggak perlu berantem sama ayam!" timpal Bibi Sari dengan nada menggoda, namun mata yang berbinar.

Tapi Liona sama sekali tidak mendengar. Dunianya saat ini hanya berisi ayam-ayam yang di matanya sebesar dinosaurus, dengkuran nafasnya sendiri yang tersengal-sengal, dan satu tujuan, menyelamatkan diri. Dia melompati sebuah batu, nyaris terpeleset di kotoran ayam, dan berteriak lebih kencang lagi ketika ayam itu semakin mendekat, seolah-olah memahami betapa lucunya situasi ini dan ingin menambah dramanya.

Adegan komedi pagi itu pun berlanjut, dengan Liona sebagai bintang utamanya yang sama sekali tidak rela.


"Ugh... akhirnya keluar juga dari kandang sengsara itu!" Liona mengeluh keras-keras segera setelah berhasil menyerahkan sekeranjang telur ke ibunya. Wajahnya masih merah padam, nafasnya tersengal-sengal. "Aku mau ganti baju dulu!" ujarnya dengan cemberut, sambil berjalan meninggalkan area kandang sambil membenarkan kemejanya yang terlepas dan menepuk-nepuk celananya yang penuh bulu ayam dan noda tanah.

Saat berjalan menyusuri jalan setapak tanah menuju rumah bibinya, Liona kesal. "Bukannya bantuin, malah setiap hari cuma nonton dan ketawa-ketiwi!" gerutunya dalam hati, kesal pada sepupu dan bibinya yang selalu menjadikan kegagalannya sebagai hiburan pagi.

Namun, di tengah jalan, tepat di samping kebun pisang, langkahnya terhenti mendadak. Dadunya berdebar kencang.

Di hadapannya, beberapa meter saja, berdiri sosok tinggi dan familiar. Siluetnya jelas terpampang, kontras dengan cahaya matahari pagi yang terik. Rambutnya, bahunya yang bidang, bahkan cara berdirinya yang khas, semuanya terlalu mirip.

Liona mendengus frustasi. "Ini lagi, ini lagi," batinnya kesal. Sudah sebulan berusaha melupakan, tapi otaknya masih saja berkhianat.

Selama sebulan terakhir, bayangan Alan selalu muncul dalam bentuk yang paling menyiksa. Kadang seperti mencium aroma parfumnya yang khas di tengah bau kandang ayam. Kadang seperti mendengar suara tawanya yang dalam di balik gemericik air sungai. Dan yang paling parah, seperti sekarang ini, matanya seolah melihat sosoknya yang nyata, berdiri di antara rumpun pisang dengan sinar matahari membentuk aura di sekelilingnya.

Lihat selengkapnya