BITING THE LIPS

Arisyifa Siregar
Chapter #41

41. Keisengan Misterius

Sesampainya di rumah bibinya, Liona bukan cuma sekadar ganti baju. Dia seperti hendak mengubah total dirinya, mandi dan membereskan semua barangnya ke dalam tas dengan gegap gempita. Alan yang menunggu di ruang tamu pun mulai celingak-celinguk. Ruang tamu sederhana ini, yang mungkin akan ia sebut sebagai "vintage" untuk bersikap sopan, kontras sekali dengan kemewahan yang ditinggali sehari-hari. Dia mencoba mencari posisi duduk yang nyaman di atas sofa yang sudah agak lapuk.

Tiba-tiba, riuh rendah suara wanita mendekat dari luar. Suara obrolan dengan nada melengking dan tawa cekikikan yang khas, seperti sekawanan burung gereja yang heboh menemukan biji-bijian.

"Liona! Liona! Lu liat nggak tadi di ujung gang ada mobil mewah warna hitam? Gede banget, kayak di film!" teriak Tantri sambil mendorong pintu masuk. Namun, langkahnya terpaku di ambang pintu. Mulutnya yang masih terbuka untuk meneriakkan kalimat selanjutnya, terkunci. Matanya membelalak, menatap sosok pria tampan yang baru saja berdiri dari kursi dan menyunggingkan senyum ramah.

"Kok diem sih, Tan?" protes Sari, ibunya, dari belakang. Penasaran, ia mendorong tubuh Tantri yang membeku itu agar minggir. Akibatnya, dialah yang kini menggantikan posisi "patung terkejut" di pintu. Ekspresi melongonya bahkan lebih dramatis, tak percaya melihat ada makhluk setampan, tinggi, dengan kulit bersih, dan wangi itu berdiri begitu santai di ruang tamu rumahnya.

"Siang, Tante," sapa Alan dengan anggukan halus, berusaha tampak sesopan mungkin.

“Siapa?” Tari muncul dari balik bahu Sari. Berbeda dengan Tantri dan Sari, ekspresinya lebih ke arah kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia melihat sosok Alan, pria yang sudah bertahun-tahun foto-fotonya ditempel di dalam kamar Liona, dan sebulan terakhir ia baru tahu jadi pacar anaknya, gara-gara artikel viral yang Tantri tunjukkan padanya.

“Siang, Tante!” ulang Alan lagi, tahu kalau yang baru saja muncul itu ibu Liona, wajah mereka lumayan mirip. Matanya yang sipit, hidungnya yang bulat, dan bibirnya yang sedikit tebal. Rupanya Liona mendapat karakter wajah itu dari ibunya, karena Pak Anton, tak terlihat mirip dengan Liona.

Begitu Liona keluar dari kamar sambil membawa tas besar yang sepertinya berisi seluruh isi kamarnya, Alan segera bergerak. Dengan sigap ia merebut tas itu dari genggaman Liona. "Aku aja," ujarnya, meski sedikit kaget dengan beratnya barang bawaan tersebut.

Tantri langsung menyambar kesempatan. Ia nyelonong ke samping Liona seperti agen rahasia yang bertukar informasi vital. "Itu beneran pacar lu? Yang viral itu?" bisiknya dengan suara serak, mengira sedang berbisik padahal suaranya terdengar jelas di ruangan sempit itu.

"Iya," jawab Liona singkat sambil menahan malu. Dia bisa merasakan sorot mata Tantri dan Bi Sari yang tak berkedip, memindai setiap inci dari sosok Alan bak sedang mengamati spesimen langka di museum. Keduanya terpana, takjub melihat bahwa pria di iklan itu ternyata lebih tampan dalam versi nyatanya, tanpa filter dan tanpa batas layar kaca.

"Ibu, aku balik ke Jakarta dulu. Nanti aku telepon ya," ujar Liona kepada ibunya yang hanya bisa mengangguk paham.

"Ayo, Alan!" seru Liona tiba-tiba, menyambar lengan Alan.

"Ha? Sekarang? Langsung berangkat?" tanya Alan bingung.

"Iya, ayo!" desak Liona. Tangannya mengait erat lengan Alan dan menariknya ke arah pintu. "Dah, Tan! Dah, Bi! Aku pergi dulu!" teriaknya sambil melewati pintu rumah.

Tantri dan Bi Sari hanya bisa melambaikan tangan layak robot, tubuh mereka bergerak otomatis mendekati pintu. Leher mereka terulur seperti orang yang menonton parade, berusaha mempertahankan pandangan terakhir pada sosok Alan yang perlahan menjauh. Bahkan setelah Alan dan Liona sudah tak terlihat lagi, kedua wanita itu masih berdiri terpaku di ambang pintu, seolah baru saja menyaksikan presiden mampir ke rumah mereka.


“Maaf ya, kamu pasti capek banget kalau langsung disuruh balik lagi ke Jakarta,” ujar Liona begitu mereka memasuki mobil. Suaranya penuh penyesalan, wajahnya menyunggingkan ekspresi bersalah yang berlebihan.

Lihat selengkapnya