SATU TAHUN KEMUDIAN
Hawa panas Jakarta pada siang itu terasa menyengat, tetapi sama sekali tidak mengusik semangat ratusan orang yang memadati pelataran gedung serba guna kampus. Sorak-sorai keluarga, bunyi klik kamera, dan gemerisik jubah wisuda menciptakan simfoni sukacita. Di tengah keriuhan itu, Alan berdiri dengan postur tegap, terpaku di satu spot seolah takut bergeser. Wajah tampannya yang biasanya tenang dan dingin, kini jelas memperlihatkan kecemasan. Matanya terus menjelajahi kerumunan seperti radar yang sedang mencari sinyal tertentu.
Jubah wisuda hitam dengan detil biru tua yang ia kenakan terlihat gagah, kontras dengan kemeja putih di dalamnya yang sedikit lembab oleh keringat. Tangannya memegang topi toga, sesekali digunakan sebagai kipas olehnya saking panasnya.
Tiba-tiba, ponsel di tangannya bergetar. Wajahnya langsung berseri, berharap itu Liona yang memberitahu posisinya. Namun, senyum itu langsung menguap ketika nama Dany terpampang besar di layar, disertai permintaan panggilan video. Alan mengerutkan kening. Panggilan video antara dua pria? Baginya menggelikan. Mereka seperti pasangan yang sedang menjalani hubungan jarak jauh.
"Dany, ngapain lu?" sapa Alan dengan nada datar yang sengaja dibuat asam. Wajah Dany yang cerah terpancar dari layar, dengan latar belakang ruang kuliahnya di suatu kampus Amerika.
"Waduh, sinis banget lu!" keluh Dany, tapi matanya berbinar. "Gue cuma mau ucapin selamat, akhirnya lu wisuda juga!"
"Oh... makasih," sahut Alan, masih datar. Pandangannya bahkan tidak menatap layar, matanya masih sibuk menyisir setiap sudut halaman kampus, mencari satu sosok yang sangat dinantinya.
"Duh, jangan-jangan cewek lu belum datang juga ya?" tebak Dany, menyunggingkan senyum tahu segalanya.
Seketika itu juga, Alan memutar wajahnya dan melirik tajam ke ponsel. "Ikut campur banget lu!" balasnya dengan sinis yang khas.
Dany langsung terbahak lebar, menggeleng-geleng. Tingkah Alan ini selalu membuatnya geli, seolah dialah, Dany, yang punya hubungan khusus dengan Liona, hingga Alan selalu tampak begitu posesif dan tidak suka dengan kehadirannya. Padahal, justru Dany yang seringkali merasa seperti pihak ketiga yang "tersingkir" karena tak bisa menembus dunia berdua mereka yang terlalu mesra. Kenangan itulah yang sebagian mendorongnya untuk mengambil studi magister jauh di luar negeri.
"Eh, itu dia! Udah dulu, ya!" seru Alan tiba-tiba, matanya berbinar melihat sosok familiar yang turun dari taksi di kejauhan. Tanpa basa-basi, ia memutus sambungan, meninggalkan Dany yang masih terkekeh di seberang lautan.
Liona terburu-buru turun dari taksi. Udara lembab Jakarta langsung menyambutnya. Ia masih mengenakan setelan kemeja dan celana kulot warna biru dongker yang ia pakai ke kantor, tampilan formal sebagai Staff General Affair di kantor PR Management. Riasan wajahnya yang biasanya sempurna sedikit luntur oleh peluh, dan rambutnya yang ditata rapi mulai mengembang diterpa angin. Sebenarnya, ia sudah merencanakan untuk ke salon dahulu dan tiba lebih awal, tetapi pekerjaan di hari penggajian, di mana ia harus standby memastikan semuanya lancar meski sudah mengambil cuti setengah hari, menahannya. Belum lagi kelas dadakan yang dipindahkan ke hari ini padahal dia kuliah weekend, memaksanya mampir sejenak ke kampus untuk absen. Ia berada di semester pertamanya, kuliah mengambil jurusan yang sama seperti Alan dan Dany, Manajemen SDM. Alhasil, dia jadi datang terlambat, ketika acara wisuda sudah selesai.
"Dion!" panggilnya lega melihat pria yang kini menjadi manajer Alan yang sudah setia menunggu di pelataran gedung.
"Kak Liona, akhirnya! Ayo ikut saya, Kak Alan udah nunggu dari tadi," sahut Dion dengan senyum ramah, lalu dengan sigap mengambil tas kerja yang dibawa Liona. Kini, tangan Liona hanya menentang buket bunga berwarna pastel yang khusus dipesannya untuk Alan.
Jantung Liona berdebar-debar, campur rasa bersalah karena terlambat dan antisipasi untuk melihat Alan di hari spesialnya. Dion memandunya menerobos kerumunan, menuju pria tinggi berbaju toga yang masih terlihat begitu gagah dan mencolok di antara lautan orang.
Saat Alan akhirnya melihatnya, semua kecemasan di wajahnya langsung mencair, berganti dengan senyum lega dan kebahagiaan yang begitu tulus. Liona menghampirinya, mengulurkan buket bunga.
"Maafin aku telat," bisik Liona.
Alan langsung mengambil bunga itu. Kemudian menarik Liona ke dalam pelukan erat, mengesampingkan tatapan orang sekitar. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu datang," bisiknya di telinga Liona, suaranya berat penuh arti. Ia kemudian menarik diri, memandangi Liona penuh kebanggaan.
“Ayo kita foto,” ajak Alan, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Tangannya yang hangat menggenggam erat tangan Liona, menuntunnya melewati kerumunan keluarga dan wisudawan lainnya menuju salah satu spot foto yang disediakan kampus. Di bawah kanopi dekat pohon rindang, seorang fotografer sudah bersiap.