"Junaaa!"
Keributan mendadak terhenti. Segala atensi secara otomatis langsung terpusat pada satu titik di mana dia—yang baru saja berteriak lantang—sedang berdiri di depan pintu kelas sembari berkacak pinggang. Nampak jelas bahwa napasnya naik turun secara cepat. Tidak perlu dukun untuk menerawang hal yang akan terjadi selanjutnya. Tentu saja, murka gadis itu akan segera meledak. Sasarannya satu orang, dan sekarang ia—yang namanya baru saja diteriakkan—hanya cengar-cengir tidak merasa berdosa.
Langkah kakinya menghentak, geram bukan kepalang. Bahkan beberapa orang yang sempat berkerumun di sekitar Juna mulai mundur teratur. Mereka sama sekali tidak ingin ikut campur masalah dua insan yang tiap harinya tidak pernah akur.
"Hai Ca! Lo sakit?" Juna tersenyum lebar seraya mendekati gadis yang berhasil ia buat murka hari ini. "Keknya lo lagi meriang, deh. Lo panas? Soalnya muka lo merah gitu. Gue kipasin aja si-aduh!"
Ketika lelaki itu sedang menggerak-gerakkan buku yang sisa sampulnya, Caca dengan cepat menarik rambut Juna, bahkan tidak jarang tangannya yang bebas memukuli Juna secara membabi-buta hingga membuatnya mengaduh kesakitan.
"Lo apain buku gue sampai tinggal sampulnya gini, Junaaa?" geram Caca dengan tangan yang tidak luput menarik rambut pemuda itu.
Dengan kepala yang masih menunduk akibat dijambak Caca, Juna berucap dengan nada polos, "Gue berbagi dengan orang yang membutuhkan."
"Kalau mau berbagi, seharusnya lo pakai buku sendiri!" tangan Caca beralih pada telinga Juna. Ditariknya tanpa mengartikan rasa sakit. Ia bahkan tidak mengacuhkan Juna berteriak selayaknya sedang disiksa. Ya, meski itu kenyataannya.
"Kan, biar lo dapet pahala gede dengan berbagi. Nah, gue dapet cipratannya aja udah seneng banget," kilah Juna. "Lo lepasin gue, dong. Nanti kalau telinga gue jadi panjang sebelah gimana?"
Caca mendelik. "Enak aja!" pekiknya tepat di telinga Juna membuat pemuda itu meringis kesakitan.
"Pokoknya lo harus ganti! Gue enggak mau tau!" jeweran Caca berpindah dari telinga kanan ke telinga kiri Juna, "nih! Biar imbang! Biar sama-sama panjang!"
"Aduh! Ca! Woy! Hamba, kan, sedang bokek Kanjeng Ratu," ucap Juna seraya perlahan melepas jemari Caca yang setia menarik telinganya. "Ini telinga gue jadi panjang kayak kelinci loh kalau lo tarik terus."
"Amit-amit banget kayak kelinci!" Gadis itu tidak berhenti. Meski jemarinya baru saja lepas dari telinga Juna, namun ia dengan segera menarik kerah seragam pemuda itu dan menyeretnya menuju koperasi sekolah. Berkali-kali Juna memohon tapi sama sekali tidak digubrisnya.
"Ca! Bentar lagi masuk kelas. Pelajarannya Pak Budi, lagi. Nanti kalo telat kita bisa dihukum!" ujar Juna sembari berusaha melepaskan diri dari Caca. Meski berhasil, lagi-lagi gadis itu menariknya. Kali ini bukan lagi kerah baju, tapi lengannya yang jadi sasaran. Juna jadi khawatir jika seragamnya robek karena gadis itu.
"Gue nggak peduli." Sialnya Caca tidak berhenti. Ia bahkan tidak melunak sama sekali.
Setelah keduanya sampai di depan koperasi sekolah, Caca melipat tangan di dadanya dan melepaskan Juna. "Buruan! Beliin gue buku tulis!" perintahnya tegas.
Juna mencebik. Caca memang galak, tapi mengusiknya juga hal menyenangkan.
"Gue, kan, bokek, Ca," ujarnya dengan nada memelas. Tapi Caca tetap keras kepala.
Arjuna itu pelit. Ingat, dia bukan cowok yang murah hati dan suka memberi. Dia lebih suka meminta dan merampas apa yang menjadi milik sahabatnya. Soal cinta tidak, tapi soal yang lainnya. Keterlaluan memang, tapi itulah Arjuna Dwika Samudra. Tapi jika Caca tidak dituruti kali ini, mungkin saja dia akan dipukuli.
Juna bukan cowok lemah—tubuhnya bahkan tampak atletis—tapi memang Caca yang dari lahir sudah bar-bar dan suka main pukul. Sebagai lelaki yang diajari tidak boleh menyakiti yang namanya perempuan, membuat Juna hanya mampu melindungi diri ketika Caca menghajarnya. Memang dia suka mengusili gadis itu, jadi tidak mengherankan jika adegan kekerasan sering terjadi. Seperti tadi misal.
Pemuda itu mencoba ikhlas ketika uangnya untuk jajan gado-gado malah ia gunakan sebagai ganti buku Caca yang ia preteli hingga sisa sampulnya saja. Dia harus merelakannya. Hari yang sial. Semoga Tuhan memberi pengganti yang lebih baik.
Juna menampilkan raut sedih yang semakin ia dramatisir. "Salah Hamba apa, Gusti?" tanyanya sambil menengadahkan kedua tangannya tinggi-tinggi.
"Nah! Gini, kan, lo malah banyak pahala." Caca tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk punggung Juna sedikit lebih keras. "Baik terus, ya! Sering-seringlah berbagi wahai anak muda." Lalu dia tergelak karena puas membalas Juna.