Hari ini adalah hari terakhir diadakannya Masa Orientasi Siswa. Tiga hari yang penuh drama dan menguras tenaga bagi seluruh anak kelas sepuluh SMA Permata Bangsa karena kelakuan senior yang semena-mena, berteriak-teriak tepat di depan telinga, memakai pakaian yang lebih mirip seperti orang gila, atau yang paling parah mereka harus membawa beras dan kacang hijau untuk kemudian dihitung berdasarkan tahun mereka masuk ke sekolah tersebut. Di hari penutupan Masa Orientasi Siswa tahun ini, para peserta didik sedikit mendapatkan angin segar karena para senior diwajibkan untuk membuat kelas sepuluh merasa senang dan melupakan semua hal yang sudah mereka alami sejak dua hari kemarin.
“Gue juga bilang apa, sejak pertama kali gue lihat dia di hari pertama kita masuk sekolah, gue udah yakin kalau dia bakal jadi salah satu murid yang berpengaruh di sini,” Ujar Dion yang mulai berbisik kepada seseorang yang berada di sebelahnya, matanya tak lepas dari lapangan di mana ada sekumpulan panitia yang didominasi oleh anggota OSIS tengah berkumpul.
“Gue justru nggak pernah menyangka kalau dia akan seperti ini, secara muka dia nggak ada sangar-sangarnya, dan juga fisik dia kayak lembek gitu. Tapi mental dia bagus juga, di antara teman-temannya yang lain dia paling kuat dan tahan banting,” Agung mulai menambahkan, maklum saja mereka saat ini tengah membicarakan salah satu dari sekian banyak anggota OSIS yang berada di lapangan.
“Eh, lihat dia ganti baju, cuy. Cakep juga dia pakai baju paskibra, benar nggak, sih?”
Agung kembali menunjuk salah satu dari anak-anak paskibra yang sudah berkumpul di lapangan untuk mendemokan organisasi mereka di hadapan anak-anak kelas sepuluh. Pakaian puti-putih dengan atribut lengkap dan formasi yang rapi langsung menarik semua pasang mata untuk melihat ke lapangan.
“Gue dengar, sih, Nanas baru aja dilantik jadi wakil ketua paskibra. Kayaknya dia ikut semua organisasi, deh, kecuali PKS,” Rizal ikut menambahkan sambil membuka tutup botol air minum kemasan.
“Lah, kenapa?” Jingga tiba-tiba mengernyit, sepertinya dia mulai tertarik dengan pembicaraan yang tengah teman-temannya lakukan.
“Dia nggak bisa nyebrang, gue dengar dari dia.” Rizal menunjuk Heni yang kebetulan berada tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Apa lo nunjuk-nunjuk ke arah gue?” tanya Heni yang kebetulan menyadarinya.
“Itu si Nanas teman lo nggak bisa nyebrang, kan? Makanya dia nggak ikut PKS,” Rizal menjawab sambil tertawa.
Gadis yang bernama Heni itu langsung menatap ke sumber suara dengan alis yang terangkat. “Oh... gue tahu, kalian pasti lagi gibahin teman gue. Iya, kan?”
Jingga yang mendengar itu langsung tertawa sampai bahunya bergoncang dan satu tangannya menahan perut, sedangkan teman-temannya yang lain hanya menatapnya heran. Menurut mereka tidak ada hal lucu yang patut ditertawakan secara berlebihan seperti itu, mereka tidak tahu apa yang membuat Jingga tertawa hingga ujung matanya sedikit berair.
“Lo ketawa puas banget, Ga. Letak kelucuannya ada di mana coba?” tanya Dion heran, kemudian ia melirik teman-temannya yang juga tengah menatap Jingga heran sama seperti dirinya.
“Udahlah gue mau cabut ke kantin, kalian ngomongin dia mulu, bikin telinga gue sakit aja,” Jawab Jingga santai, kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Mendengar jawaban itu, Agung langsung menahan Jingga dengan menarik ujung bajunya yang sengaja tidak dimasukan. Agung sudah sangat tahu dengan kebiasaan Jingga karena mereka sudah berteman sejak kecil, bahkan mereka bersekolah di SD dan SMP yang sama. “Jangan bilang lo mau madol dan nggak ajak-ajak kita?”
"Nggak, gue ini anak baik nggak mungkin madol. Gue cuma mau nemenin Bi Juju, kasihan dia kesepian. Lagian, daripada lihatin anak-anak OSIS mending gue lihatin Bi Juju beserta dagangannya."
Setelah mengatakan itu, Jingga langsung meninggalkan teman-temannya untuk pergi ke kantin sendirian seperti keinginannya. Jingga tidak terlalu aktif dalam kegiatan sekolah, terbukti dengan dia tidak mengikuti organisasi dan ekstrakulikuler apa pun yang ada di sekolah. Jingga merasa itu tidaklah penting untuknya di masa depan, tapi terlepas dari itu karena peraturan sekolah yang mewajibkan seluruh siswa untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, akhirnya Jingga memilih untuk masuk dan menjadi salah satu anggota inti tim futsal kebanggaan sekolah. Wajahnya yang tampan, mampu membuat siapa saja menyukainya hanya dalam sekejap. Walaupun bukan menjadi kapten futsal, tapi Jingga adalah yang paling menonjol di antara yang lain, ia juga memiliki banyak penggemar di segala kalangan.
Sementara itu di waktu yang sama tempat yang berbeda, demo paskibra telah selesai dan dilanjutkan dengan demo dari organisasi PKS. Semua anggota OSIS yang merangkap menjadi anggota paskibra diberi waktu istirahat oleh panitia yang lain sebelum mereka kembali ikut andil dalam kegiatan selanjutnya. Natasha yang akrab disapa Nanas menjadi salah satu anggota OSIS yang juga merangkap sebagai anggota paskibra, langsung menghampiri ketua OSIS selaku panitia dengan tujuan meminta izin untuk pergi ke kantin sebentar.
"Ji, gue ke kantin dulu, ya." Natasha menepuk pundak Panji, dan hanya mendapat acungan jempol sebagai jawabannya.
Mendapat izin dari Panji membuat Natasha tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dia langsung pergi ke kantin untuk sekadar membeli air minum kemasan botol. Dia melihat suasana kantin cukup ramai dan banyak sekali anak cowok yang sedang nongkrong di sana. Setelah mengamati dari jarak yang cukup jauh, Natasha sudah bisa menebak sekumpulan cowok yang sedang berada di sana. Gengnya Maulana yang di dalamnya terdapat sekumpulan anak-anak yang paling banyak melanggar peraturan sekolah.
"Yaelah, Nas, nggak asik banget, sih! Masa di hari bebas begini lo mau razia kita, sampai nyamperin ke kantin lagi. Gue bawa rokok banyak nih di tas, gimana dong, Nas?" tanya Yusuf saat melihat Nanas berjalan ke arah kantin.
"Minggir sana, lo ngehalangin jalan gue." Nanas mendorong Yusuf yang memang sedang berada di depannya.