Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #1

Bab 1 Satu Siang di Bangunan Berpintu Merah Cerah

 

Tempat yang menjadi rumah keduaku (rumah kedua sebenarnya kurang tepat juga, mengingat aku bisa menghabiskan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu di sana), berada di sudut salah satu jalan yang cukup ramai di kotaku. Bangunan dua lantai dengan dinding bata ekspos yang pintunya dicat merah itu, tidak pernah gagal menghadirkan rasa hangat setiap kali aku memandangnya dari jauh.

Ukurannya hanya sekitar lima kali dua belas meter dengan pintu kaca ganda yang berwarna merah cerah. Setiap kali pintu dibuka dari luar (dari dalam juga), lonceng kecil yang dipasang di bagian atas pintu, akan berdenting. Persis seperti toko-toko di luar negeri yang sering kulihat di dalam film. Tembok bagian depannya dijadikan etalase untuk memamerkan beberapa koleksi buku milik Bapak yang hanya boleh dipinjam oleh pelanggan-pelanggan lama.

Tempat penyewaan buku milik keluargaku itu sudah ada sejak lama. Diwariskan dari bapaknya Bapak, yang konon juga didapatkannya dari bapaknya bapaknya Bapak. Kenapa jadi ribet begini, ya? Intinya, itu turun-temurun.

Sebenarnya bukan hanya tempat penyewaan buku ini yang didapatkan Bapak dari bapaknya. Bapak juga memiliki satu toko yang menjual alat tulis-menulis yang lumayan besar. Namun, ketika usiaku sekitar tiga tahunan, toko itu dijual oleh Bapak entah karena alasan apa. Aku tidak pernah bertanya. Tidak perlu juga. Toko itu milik Bapak, terserah hendak diapakan. Toh, aku juga tidak pernah punya kenangan akan toko itu sama sekali. Lain ceritanya dengan tempat penyewaan buku.

Awalnya, tempat itu tidak mempunyai bangunan sendiri. Hanya dari sejumlah buku milik buyutnya Bapak yang dipinjamkan tanpa dipungut biaya. Semacam perpustakaan pribadi yang ada di sudut toko alat tulis menulis. Lalu bapaknya Bapak memutuskan untuk menyewakan saja koleksi bukunya yang jumlahnya semakin bertambah. Di tangan Bapak, koleksi buku-bukunya kian bertambah hingga melewati angka tiga puluh ribu sehingga membutuhkan ruangannya sendiri.

Dari cerita Bapak aku tahu bahwa dahulunya tempat penyewaan buku kami itu tidak memiliki nama. Jelas saja, awalnya hanya menumpang di sudut toko. Adalah judul lagu New Order, grup musik rock favorit Bapak dari Inggris, yang menginspirasi beliau saat memberi bangunan itu nama, yang menjadi namanya hingga sekarang,“Bizarre Love Triangle”.

Saat menamainya, Bapak tidak ambil pusing dengan arti dari tiga kata itu. Bapak hanya sangat menyukai lagunya. Titik. Itu yang paling penting. Untung saja yang beliau sukai adalah lagu yang judulnya masih bisa diterima akal sehat. Bayangkan jika Bapak menyukai ABBA.

Nama tempat penyewaan buku ini bisa jadi akan berakhir dengan “Under Attack” yang mungkin lucu, tetapi akan membuat orang berpikir-pikir hendak melangkahkan kakinya melewati pintu karena tidak ingin terlibat dalam apa pun itu “serangan” yang terjadi di dalamnya. Atau “Money, Money, Money” yang kesannya negatif karena pemiliknya akan tampak seperti manusia penghamba materi. Atau yang paling parah jika dinamai berdasarkan lagu “Fernando” padahal pemiliknya bernama Pramoedya. Sungguh sangat tidak konsisten!

Menurut Bapak, kata love dalam frasa itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa di tempat milik beliau, siapa pun yang berkunjung, akan mendapatkan cinta. Dari buku-buku yang ada di dalamnya dan dari pemiliknya. Lagi pula, segitiga itu menggambarkan hubungan antara Bapak sebagai pemilik tempat penyewaan, orang-orang yang menyewa buku, dan tentu saja buku-bukunya. Lumayan filosofis jika dipaksakan.

Lucunya, orang yang Bapak minta membuat papan nama untuk dipasang di atas etalase, membuat kesalahan yang menurutku “sedikit” menyelamatkan nama unik yang Bapak pilih. Jadi, si pembuat papan nama itu, tahu (atau diberi tahu?) arti kata triangle. Dia lalu memutuskan untuk menggambar segitiga saja alih-alih menuliskannya dengan huruf-huruf. Si pembuat papan nama juga memisahkan kata bizarre love dengan gambar segitiganya dengan alasan namanya terlalu panjang sehingga tidak muat untuk dipasang di atas etalase yang panjangnya lima meter itu. Jadinya, yang tulisan menghadap ke sisi timur, sedangkan gambar segitiga menghadap ke utara.

Hal itu menyebabkan orang-orang menganggap nama tempat penyewaan buku kami adalah Bizarre Love. Bertahun-tahun Bapak mencoba mengoreksi anggapan orang-orang tentang nama, tetapi tidak pernah berhasil. Kemudian Bapak memilih menyerah ketika mengetahui orang-orang menyebut tempatnya dengan kata pertama saja. Mungkin Bapak akhirnya menyadari bahwa nama itu memang terlalu panjang atau karena beliau menyadari bahwa beberapa manusia memang memiliki kecenderungan menyingkat kata-kata.

Aku rasa, tidak ada nama yang lebih cocok untuk menggambarkan kecintaan Bapak pada buku-buku melebihi Bizarre Love. Kenyataan yang di kemudian hari juga menggambarkan diriku dengan sempurna. Bagaimanapun, aku mendapatkannya dari Bapak, kan?

Lihat selengkapnya