Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #2

Bab 2 Rencana


Aku mengembalikan buku yang tadi diserahkan Bapak kepadaku, ke raknya masing-masing. Di Bizarre, buku-buku dikelompokkan berdasarkan alfabet penulisnya agar lebih mudah dicari. Saat selesai meletakkan Little Bee milik Chris Cleave, mataku tertumbuk pada deretan buku Chitra Banerjee Divakaruni.

Mungkin kalian tidak akan terlalu heran saat mengetahui Bapak menamai aku dan kakakku dengan sesuatu yang berbau buku. Kakak semata wayangku diberi nama Agatha Clarissa, dari nama lahir Agatha Christie, sedangkan aku diberi nama Chitra Divakaruni, dari nama penulis asal India kesukaan Bapak.

Nyaris semua bagian dinding di Bizarre adalah susunan buku yang diletakkan dalam rak-rak berwarna cokelat tua. Rak cokelat tua sederhana itu terbuat dari plywood atau tripleks yang diberi penyangga segitiga berbahan besi. Hampir setiap tahun Bapak menambahkan rak baru hingga menyentuh atap. Di bagian tengah terdapat dua buah rak berbahan sama yang diletakkan sejajar dengan rak yang menempel di dinding.

Bapak meletakkan sofa berwarna merah tua di sebelah kanan pintu masuk. Sofa yang warnanya memudar karena terlalu lama melakukan tugasnya tanpa pernah diganti. Di bagian paling belakang Bizarre ada kamar mandi dan dapur kecil dengan lemari es satu pintu dengan bagian freezer-nya kini sedingin bagian yang lain. Lemari es yang sama tuanya dengan sofa merah tua.

Dapur beserta kamar mandi dipisahkan dari bagian perpustakaan dengan sekat tangga kayu yang juga berwarna cokelat tua. Di lantai dua ada dua ruangan, kamar tidur yang biasa aku dan Bapak tempati bila kami tidak pulang ke rumah dan ruangan yang digunakan untuk menyimpan koleksi komik.

Saat selesai mengembalikan buku, Bapak sedang duduk melamun menatap jalanan di tempatku tadi bersembunyi. Aku melirik ke arah pintu. Tanda “tutup” masih tergantung menghadap keluar.

“Kita tutup hari ini, Pak?” Aku bertanya.

Bapak tidak mengalihkan pandangannya, tetapi beliau menjawab singkat. “Iya.”

“Yang tadi itu Runi serius, ya, Pak. Kalau Bapak belum ada biaya untuk Runi, kuliah tahun depan juga tidak apa-apa.”

Kalimat barusan mampu membuat Bapak menoleh ke arahku. “Kamu harus tetap kuliah. Biaya masuknya sudah Bapak siapkan, kok ....”

“Tapi?”

“Enggak ada tapinya.”

Lihat selengkapnya